Geger semburan lumpur panas terus berlanjut. Ribuan warga tiada henti menuntut ganti rugi ke pihak Lapindo dan berjuang memasukkan rumahnya dalam peta bencana. Infrastruktur ekonomi telah lebur hancur dimakan panas ganasnya lumpur. Tak ketinggalan, anggota DPR “bersilat lidah” menggaungkan wacana lumpur panas sebagai tuah fenomena (bencana) alam.
Tapi, ada beberapa orang –entah murni atau pura-pura demi citra —berkoar melalui televisi dan media cetak menentang dan mengolok-olok mencuatnya peng-fenomena alam-an lumpur panas Lapindo.
Mata Raksasa
Bagi penonton, tayangan (berita) televisi musti dan wajib mengungkap fenomena tersembunyi realitas lapangan terkait kepentingan publik luas. Dalam bahasa ilmuwan posmodernisme Paul Virilio (1991), televisi laksana sepasang mata bola mata raksasa, yang melaluinya kita melihat sudut-sudut terpencil, ruang terjauh, serta rahasia terdalam dari setiap manusia yang masuk ke dalam jaringannya.
Hanya dengan melihat televisi, kita menyaksikan keseluruhan dunia, tanpa harus berkelana secara fisik. Televisi adalah ruang yang didalamnya apa-apa yang dirahasiakan secara sosial di dunia nyata disingkap untuk dipertontonkan ke publik. Televisi memungkinkan rahasia ruang pribadi (private space) disuguhkan ke ruang publik (public space) sehingga menjadi milik publik luas.
Bahwa banyak pihak menyembunyikan jatidiri dari hadapan publik dengan berbagai alasan, itu juga tak bisa dipungkiri. Namun, kejelasan identitas itu diperlukan dalam kerangka mempertanggungjawabkan atas penderitaan publik luas, sehingga tindakan menutup lorong rahasia publik tentu tidak pantas dihargai.
Perjuangan media dan televisi menyibak (dan sebagian menutupi oleh media dan televisi terafiliasi kepemilikan dengan Bakrie) siapa identitas pemilik PT Lapindo Brantas. Masih segar dalam ingatan, betapa TV baru berhasil pada minggu ketiga setelah peristiwa semburan lumpur panas. Sosok pemilik kian benderang tatkala Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Nirwan Bakrie mewakili Keluarga Bakrie harus bertanggung jawab terhadap dampak semburan lumpur panas. Wakil Presiden menegaskan Keluarga Bakrie harus membayar berapapun kerugian warga dan pihak lain.
Sikap Layar
Pertanyaan utamanya, bagaimana layar kaca memberitakan realitas lapangan kawasan lumpur panas. Arah orientasi berita penting diketahui publik, karena selama empat bulan semburan lumpur panas direspon pejabat dengan pernyataan, bulan kenyataan (menghentikan semburan lumpur).
Selain untuk menggambarkan langsung fakta lapangan, kehadiran liputan televisi mengenai derita warga korban lumpur panas berfungsi sebagai pengontrol pemerintah agar selekasnya menyelesaikannya. Meminjam pemikiran Umberto Eco, berita televisi dapat mengembangkan bentuk komunikasi teks tertutup (closed text), yaitu sebuah pemberitaan yang hanya menyuarakan suara tunggal pengelola.
Dalam teks tertutup, pengelola berita televisi dapat merekayasa isi berita, lantas mendistorsikan makna, sehingga sesuai tujuan citra yang ingin ditampilkannya. Pemberitaan tertutup cenderung untuk meredam, menyembunyikan, atau “mendinginkan” makna-makna pihak lain yang mengancam kepentingannya.
Melalui pemberitaannya, stasiun televisi bisa membelokkan inti persoalan dengan menyoroti fakta yang secara ekstrem membela kepentingan pihak tertentu. Misalnya, mengusung sudut pandang positif saat meliput peristiwa terendamnya jalan tol yang memenggal nadi bisnis. Caranya, menyoroti betapa pedagang asongan makanan dan minuman menuai berkah rejeki akibat kemacetan. Dengan demikian, pemirsa layar kaca menerima suguhan informasi tak proporsional melalui kemasan teks tertutup.
Sebaliknya, pemberitaan model teks terbuka (open text) berupaya mengungkap realitas banyak pihak. Terutama adalah para pihak yang menjadi korban utama semburan lumpur panas, yakni ribuan warga pengungsi yang merana.
Lumpur on Screen
Secara umum bisa disebutkan, RCTI, Metro, dan SCTV tergolong intensif dan sungguh-sungguh mereportasekan lumpur panas Lapindo. Indikasinya, televisi ini menekankan sisi penderitaan warga korban. Hampir setiap hari, program berita Seputar Indonesia, Metro Hari Ini, dan Liputan 6 intensif dan memberi durasi cukup “tebal” pada liputan lumpur panas. Baik berformat paket berita dan/atau siaran live (langsung) dari lokasi kejadian.
Melalui liputan langsung on the spot, publik dapat menyaksikan langsung kondisi riil memprihatinkan pengungsi, air lumpur merendam permukiman, ataupun derasnya aliran lumpur menjebol tanggul, dan aneka bentuk kenestapaan lainnya.
Sebaliknya, ada televisi terkesan “hati-hati” memberi waktu menayangkan lumpur panas Lapindo. Hal itu ditempuh dengan cara meminimalisasi jumlah berita, menaruh berita lumpur panas bukan pada segmen utama, menggeser fokus liputan hanya ke upaya membendung luberan lumpur dan abai fakta warga hidup merana di pengungsian, seperti hidup dalam tenda panas dan berdebu pinggiran tol.
Terkesan ada kesengajaan liputan derita warga pengungsi diluputkan dari perhatian publik. Lazimnya, berita televisi bercorak sedemikian itu memiliki kaitan kepemilikan modal layar kaca dengan perusahaan penyebab lumpur panas menyembur.
Siapakah nama stasiun televisi itu??? —
Secara umum bisa disebutkan, RCTI, Metro, dan SCTV tergolong intensif dan sungguh-sungguh mereportasekan lumpur panas Lapindo. Indikasinya, televisi ini menekankan sisi penderitaan warga korban. Hampir setiap hari, program berita Seputar Indonesia, Metro Hari Ini, dan Liputan 6 intensif dan memberi durasi cukup “tebal” pada liputan lumpur panas. Baik berformat paket berita dan/atau siaran live (langsung) dari lokasi kejadian.
Melalui liputan langsung on the spot, publik dapat menyaksikan langsung kondisi riil memprihatinkan pengungsi, air lumpur merendam permukiman, ataupun derasnya aliran lumpur menjebol tanggul, dan aneka bentuk kenestapaan lainnya.
Sebaliknya, ada televisi terkesan “hati-hati” memberi waktu menayangkan lumpur panas Lapindo. Hal itu ditempuh dengan cara meminimalisasi jumlah berita, menaruh berita lumpur panas bukan pada segmen utama, menggeser fokus liputan hanya ke upaya membendung luberan lumpur dan abai fakta warga hidup merana di pengungsian, seperti hidup dalam tenda panas dan berdebu pinggiran tol.
Terkesan ada kesengajaan liputan derita warga pengungsi diluputkan dari perhatian publik. Lazimnya, berita televisi bercorak sedemikian itu memiliki kaitan kepemilikan modal layar kaca dengan perusahaan penyebab lumpur panas menyembur.
Siapakah nama stasiun televisi itu??? —
Tidak ada komentar:
Posting Komentar