KAMELIATV: Stasiun TV Berlomba Sajikan Sinetron

28 Februari 2008

Stasiun TV Berlomba Sajikan Sinetron

Lewat sinetron Jelita, RCTI memasangkan Agnes
dengan Dearly.

Maraknya tayangan reality show dan variety show di layar kaca televisi, tampaknya tidak membuat sinetron kehilangan pemirsa. Bahkan menurut pengelola stasiun TV, sinetron masih tetap merupakan tontonan favorit pilihan keluarga.
Alasan itu pula yang membuat stasiun televisi tetap menjadikan sinetron sebagai tayangan andalan. Saat ini beragam sinetron disajikan di layar kaca, mulai berlatar belakang drama, komedi, action, hingga religi. TPI yang sukses dengan sajian sinetron seperti Rahasia Ilahi, Takdir Ilahi dan Si Entong (Abunawas dari Betawi), kembali menyajikan serial baru bertajuk Kisah Nyata.
Sinetron berdurasi 60 menit yang banyak mengangkat nilai-nilai kehidupan ini mulai menjumpai pemirsa pada Senin (25/2), dan akan tayang mulai Senin hingga Jumat, pukul 19.00 WIB. ''Sinetron ini menyajikan cerita-cerita yang diangkat dari kejadian sesungguhnya yang bersumber dari berbagai media, seperti buku, surat kabar, dan majalah,'' ujar Theresia Ellasari, humas TPI.
Kisah Nyata, kata dia, menyuguhkan cerita-cerita tragis tentang kehidupan yang dilakoni oleh seorang anak manusia. ''Sinetron ini menitikberatkan pada semangat berjuang untuk bertahan hidup, tabah menghadapi permasalahan, namun tetap berupaya untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi,'' ujar Ella.
Sinetron baru ini disutradarai Rully Mana dan didukung oleh Naima, Andi Soraya, Hefri Olifian, Ressi Revado, Gesia Sandy, dan Angelita. ''TPI berharap pemirsa mendapatkan tontonan yang menghibur sekaligus mendapatkan inspirasi yang positif tentang bagaimana belajar memaknai hidup,'' kata Ella menambahkan.

Agnes dan Dearly

RCTI juga tidak ketinggalan menyajikan sinetron baru. Jelita demikian judul sinetron yang menghiasi layar stasiun TV ini setiap Senin pukul 18.00 WIB.
Sinetron bergenre drama remaja produksi SinemArt ini menampilkan dua idola remaja saat ini, yakni Agnes Monica dan Dearly (Indonesian Idol). Setelah hampir enam bulan lebih vakum bermain sinetron, Agnes kembali lagi beradu akting lewat layar kaca. ''Untuk pertama kalinya Agnes Monica berpasangan dengan Dearly dalam serial sinetron di layar kaca,'' ujar Humas RCTI, Pudji Pramono.
Menurut Pudji, Agnes akan berperan sebagai Jelita, gadis cantik yang riang, bersemangat, berani, dan berjiwa sosial tinggi. Namun, ia sangat benci dengan orang kaya, karena sejak kecil Jelita didoktrin oleh ibunya untuk membenci orang kaya yang selalu mementingkan dirinya sendiri dan hanya akan membuat hidup para gadis menderita.
''Cerita sinetron ini tergolong menarik dan mempunyai daya tarik yang kuat untuk disaksikan. Agnes adalah salah satu kekuatan di sinetron ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa popularitasnya tetap menempatkan namanya di deretan papan atas akrtis Indonesia,'' ujar Harsiwi Achmad, direktur orogram RCTI.
Disamping itu, lanjut Harsiwi, kemampuan akting dan talenta Agnes akan menambah apik dramatisasi di setiap jalinan cerita yang dibawakannya. Dari sisi cerita, Jelita akan menghadirkan kekuatan drama yang mengharukan dengan balutan romantisme kisah cinta.
''Semoga sinetron ini bisa memuaskan pemirsa RCTI yang tetap ingin mengikuti drama yang berbobot dan bintang yang berbobot pula,'' ujar Harsiwi.
Sedangkan Indosiar bekerja sama dengan Power Multi Cinema menghadirkan tontonan remaja bertajuk Latin. Menurut Manager Power Multi Cinema, Donald W, sinetron bertema remaja masih menjadi daya tarik pemirsa. ''Sinetron ini memiliki unsur edukatif,'' kata Donald pada acara launching sinetron ini di Jakarta, Senin (18/2). Latin akan menjumpai pemirsa setiap pukul 20.00 WIB.(ruz )

Disalin dari Republika, Rabu, 27 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Televisi Bisa Menebar Empati

Rangkaian bencana menyentak kesadaran bangsa soal betapa rawannya negeri ini. Posisi geologis Indonesia di antara tiga lempengan benua, yaitu Asia, Amerika, dan Australia, membuat gempa tektonis dan tsunami gampang menyapa. Itu belum geliat gunung berapi aktif berpotensi letusan gunung.

Derita, nestapa, dan keterpurukan ribuan warga Aceh, Nias, Yogjakarta, Jawa Tengah, Pangandaran, serta pantai selatan Jawa menyemaikan solidaritas. Pun media tak lagi mengumbar dramatisasi peristiwa. Tapi kembali ke kodrat sebagai pencatat fakta untuk kemudian menyampaikannya sebagai berita.

Empati
Kiranya perlu ada pendekatan yang lebih manusiawi, humanintarian ketika melaporkan kejadian. Apalagi para korban bencana dalam kondisi traumatik. Trauma adalah kondisi stres psikologis sebagai pengaruh peristiwa dahsyat dan luar biasa yang dialami seseorang.

Dalam penderitaan seperti itu, jurnalisme (pemberitaan) dapat diarahkan pada upaya menumbuhkan harapan kehidupan bersama. Dengan penghormatan atas kehidupan manusia seperti itu, dapat dikembangkan model peliputan yang memiliki orientasi khas menghadapi kenyataan bencana alam.

Sebuah formula liputan yang menceritakan kehidupan manusia, bertolak dari suatu sudut pandang dalam memilih subyek yang menjadi dasar liputan.

Siapakah yang akan dijadikan fokus liputan yang kehidupannya hendak ditayangkan, khususnya dalam kenyataan yang berkaitan reportase bencana alam? Itulah landasan mengembangkan jurnalisme empati. Sebuah model peliputan televisi berdasar kerangka khas (framing) saat meliput bencana alam, bahwa di dalamnya akan selalu hadir korban yang tak berdaya berhadapan dengan alam dalam kehidupan.

Bagian tak terpisahkan dari jurnalisme empati adalah dalam metode mengeksplorasi kenyataan. Manakala korban dijadikan fokus liputan, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana mendapatkan gambaran tentang kenyataan korban? Untuk mendapatkan jawabannya, menuntut langkah jurnalisme yang berlandaskan metode partisipatoris.

Dengan metode ini, wartawan berupaya memasuki kehidupan subyek/korban bencana, dengan sikap etis agar tidak melakukan penetrasi yang sampai menganggu kehidupan korban. Lebih jauh, pada saat menjadikan informasi, wartawan tetap berada dalam lingkup pertanyaan etis, apakah merugikan, dan apa kemanfaatannya bagi korban.

Seluruh orientasi pemberitaan ini diharapkan pada dunia korban. Dengan begitu, wartawan berusaha untuk keluar dari orientasi keredaksian yang diposisikan dalam konteks manajemen pemasaran (mencari rating). Di tataran inilah, wartawan berada dalam posisi dilematis. Satu sisi setiap orang punya hak untuk memperoleh informasi secara bebas, sebaliknya pada sisi lain, seseorang juga memiliki hak untuk menentukan dirinya sendiri apakah rela untuk menjadi tontonan manakala penderitaannya ditayangkan televisi.

Dilema itu sirna, manakala wartawan mau kembali ke akar jurnalisme, mengenai hak-hak manusia bertalian dengan dunia informasi.

Kemanusiaan
Dalam konteks ini, empati menjadi sangat penting dan vital terutama dalam menghadapi kondisi ketidakseimbangan yang mengakibatkan terjadinya penderitaan korban bencana. Dengan jurnalisme empati, diharapkan menumbuhkan penghargaan terhadap makna kemanusiaan setiap orang yang menjadi korban. Dengan jurnalisme empati, siaran televisi tak lagi terjebak sensasi dalam memberitakan korban, melainkan menyajikannya secara proporsional dan berimbang dibingkai rasa penuh kepedulian dan keprihatinan.

Jikalau produk liputan mampu mengetuk hati pemirsa dan tergugah menderma baik secara perseorangan non profrit maupun korporasi/perusahaan profit oriented, maka program televisi mendapatkan tempat yang nyaman dan pas. Melalui empati dan compassion, masyarakat dapat memandang dan menghayati derita korban sebagai masalah bersama umat manusia, masalah kemanusiaan, bukan hukuman atau kemurkaan alam.

Pada hakekatnya jurnalisme empati adalah pemihakan wartawan pada kemanusiaan. Meskipun pada dasarnya semua jurnalisme memang mengandung unsur kemanusiaan, namun dalam masalah penderitaan korban, perspektif kemanusiaan lebih ditonjolkan, korban sebagai angel/titik tolak cerita. Kemanusiaan di dalam hingar bingar kapitalisme ekonomi memang menjadi hal yang muskil, sehingga hati nurani menjadi tersamar dan tersingkir.

Nurani
Dengan jurnalisme empati inilah wartawan dapat lebih mengasah hati nurani secara lebih leluasa. Betapapun besar optimisme aparat pemerintah memanajemeni bencana, masalah korban bencana masih menjadi persoalan besar. Terlebih, belum adanya infrastruktur mendeteksi gempa dan pengalaman birokrasi mengelola gempa secara simultan.

Hati nurani wartawan yang terasah jurnalisme empati dalam masalah korban, dengan sendirinya peka terhadap masalah sosial lainnya. Ia diharapkan akan menjadi andalan untuk menjaga nilai kemanusiaan ditengah hingar bingar kejumawaan (kesombongan) hasrat memiliki dan menguasai. Dengan demikian, diharapkan wartawan jernih melaksanakan profesinya.

Maka pada saat itu kita perlu mencoba mengembangkan suatu perspektif tertentu dalam kaitan derita manusia. Karena melalui derita korban bencana alam, jurnalis berdaya mengajak orang agar tidak keterlaluan mengorbankan kehidupan manusia.

Dehumanisasi seperti itulah landasan jurnalisme empati. Kenapa empati, karena dengan empati bisa merasakan kehidupan orang lain. Dalam konteks pemberitaan, spirit jurnalisme empati bukan untuk mempropagandakan derita maupun mempertontonkan derita, akan tetapi lebih sebagai sarana menginformasikan peristiwa secara proporsional.

Tayangan sensasi-dramatis televisi, misalnya, menyedot rating, tapi ia tak memperoleh respek dari pemirsa, sehingga tak dijadikan referensi. Karena itulah tayangan acara humanistik social awareness berjubah rasa empati menjadi bermakna.—(teguh imawan)