03 Februari 2008

"Requiem" untuk Media

Minggu, 3 Februari 2008 01:45 WIB

Ingin tertawa menyimak acara televisi, di mana meninggalnya Soeharto dimasukkan dalam program infotainment yang berasosiasi dengan gosip dan soal remeh-temeh sehari-hari. Biduan yang historis pribadinya hanya sebatas Banyumas dan pacaran dengan putra mantan presiden tiba-tiba diletakkan dalam kerangka besar sejarah bangsa: gambar biduan itu diselang-seling dengan upacara kemiliteran yang dipimpin presiden.
Wawancara awak infotainment televisi dengan pihak yang mereka kategorisasikan sebagai selebritis pada kesempatan meninggalnya Soeharto memang menggelikan. Media televisi berikut anak kandung generasinya yang beringatan pendek mencoba merespons suatu perjalanan sejarah bangsa yang panjang dan rumit.
Ini dia contoh paling pas dari apa yang disebut Baudrillard sebagai proyeksi simulatif (simulative projection) dari media. Penjelasan sederhananya: setelah Anda digerojok informasi tertentu dari sudut pandang tertentu yang melulu itu-itu, Anda kemudian ditanyai, bagaimana kesan sampean pada orang hebat ini? Sama seperti proses polling pengumpulan pendapat yang ditertawakan Baudrillard, di mana setelah realitas diredusir, orang diminta menentukan pilihan, dihitung jumlahnya, lalu disimpulkan itulah pilihan paling absah. Itukah yang disebut ”manipulasi demokrasi”, kalau mengingat, pabrikasi informasi sebenarnya telah mengalienasi otentisitas sifat dasar manusia, otentisitas esensi sosial, menjauhkan manusia dari kehendak bebasnya?
Sejak lama, pemikir sangat penting dalam kancah intelektual Perancis ini memikat kalangan intelektual. Melihat perkembangan media, atas kenyataan seperti di atas, dia tidak bersikap pesimistis atau optimistis, melainkan menyebutnya sebagai sesuatu yang ironis dan antagonistis. Bahkan, sebutan ”komunikasi” itu pun, kalau ketat mengikuti Baudrillard, tidaklah terlalu tepat.
Ia menyebutnya sebagai ”pabrikasi nonkomunikasi”—kalau mengingat pengandaian diperlukannya interaksi dalam komunikasi. Soalnya, interaksi yang ada melalui ”pabrikasi nonkomunikasi” tadi sebenarnya hanya semacam interaksi semu. Respons pemirsa televisi terbentuk oleh proses simulasi—di mana di dalamnya terintegrasi proses pendangkalan, penyunatan, dan lain-lain.
Sejarawan Asvi Warman Adam muncul untuk diwawancara. Di layar ditayangkan footage atau gambar banyaknya manusia maupun tokoh yang melayat, mereka yang sejak sebelumnya rajin membesuk Soeharto. Lalu, sejarawan yang sangat kritis terhadap tingkah laku kekuasaan Soeharto itu ditanyai oleh pembawa acara cantik sambil senyum-senyum, bagaimana dia melihat tanggapan masyarakat itu.
Itulah barangkali gambaran nasib kita: untuk menerima, realitas seolah semata-mata yang berkelebat di layar kaca. Di luar itu, catatan sejarah, penderitaan, penggusuran, penumpasan, pembunuhan, seolah tidak ada.
Requiem untuk Pak Harto. Dalam konteks media, bersamaan dengan itu jadi ingat tulisan Enzensberger seperti dikutip Baudrillard: requiem untuk media. (BRE)

Tidak ada komentar: