03 Februari 2008

MENYIKAPI TAYANGAN KEKERASAN

Oleh Teguh Imawan


Belakangan ini, sejumlah pemirsa mulai memprotes keras terhadap tayangan televisi yang mengumbar adegan kekerasan. Melalui surat pembaca maupun media online, penonton televisi memprihatinkan, menyesalkan, dan mengecam acara-acara menjual kekerasan, berikut sikap bandel pengelola televisi penanggungjawab siaran yang tetap menayangkan acara kekerasan.
Bahwa efektivitas tekanan publik ke pengelola televisi kadang membuahkan kekecewaan itu tak terelakkan. Bahwa nada protes penonton, dalam kasus tertentu, oleh pengelola televisi disedot, digenggam, dan diplintir untuk dijadikan bantalan pendongkrak posisi tawarnya mengerek tinggi bandrol harga iklan ke pemasang iklan, juga telah menjadi rahasia umum.

Melek Tayangan
Karena sifat bisnis televisi swasta memang tunduk dan patuh pada perolehan uang iklan dengan menjual jam siaran, maka tekanan penonton terhadap acara televisi niscaya seperti meludahi matahari atau menggarami lautan.
Bila ada respon pengelola televisi yang bertekad "memperbaiki" kemasan tayangan dengan tujuan memperlunak, menurunkan kadar, memperhalus dan sejenisnya, kesemuanya itu harus dipahami dalam konteks public relations atau basa-basi belaka.
Dengan demikian, mengharapkan niat baik pengelola televisi hanya membuahkan kekecewaan tiada tara. Menyandarkan harapan perbaikan kualitas acara televisi sebagaimana harapan publik kritis tak ubahnya menginjak papan keropos jembatan gantung. Penuh risiko, jatuh ke jurang tanpa penyelesaian.
Tak bisa dipungkiri, meminjam pandangan Linda Ellerbee, aktivis media literacy, dalam Parents, Kids, and Media (2005), di era televisi sebagai bentuk sentral komunikasi, keluarga memposisikan televisi sebagai pengasuh, guru, kawan, sekaligus orangtua bagi anak-anak. Itulah posisi televisi yang begitu kuat, digdaya, dan perkasa membentuk alam pikiran anak.
Celakanya, sedikit anak yang dilatih untuk "melek" (kritis) terhadap media televisi. Anak usia sekolah memang telah diajari membaca, menulis, berhitung, namun mayoritas belum dipahamkan soal teknik memproduksi acara, penggunaan manipulasi suara dan gambar, dampak negatif iklan, serta kebiasaan menonton secara bertanggungjawab. Kesemuanya itu ketrampilan yang ampuh mengkonter sisi negatif tayangan.
Melek media memberikan perangkat belajar dan praktek melalui cara baru untuk membantu anak berinteraksi dengan sosok berpengaruh luar biasa bagi kehidupannya. Karena itu, era anak kita tercelup dalam dunia televisi, pendidikan melek media tak bisa lagi dipandang sebagai kemewahan, tapi ia telah menjadi kebutuhan.

Budaya Peduli
Kembali ke posisi anak yang rentan terhadap tayangan kekerasan, lantas apa yang bisa dilakukan para orangtua, guru, maupun pihak lain yang peduli dengan anak?
Prinsip mendasar melindungi anak dari gelontoran tayangan kekerasan adalah perlunya budaya penduli (care culture) dalam keluarga atau komunitas anak.
Kepedulian dikembangkan dalam konteks memandang tayangan televisi tak ubahnya seperti makanan sehari-hari, ada yang menyehatkan dan ada yang mengundang penyakit. Sehingga, menonton acara televisi tak lain merupakan asupan pikiran/kesadaran anak-anak.
Persoalan menjadi penting, bila menyadari bahwa perilaku anak tak bisa dipisahkan dengan sifat imitatif (perilaku meniru) terhadap apa yang dilihat televisi.
Di sisi lain, tahap perkembangan anak memang belum mampu membedakan antara "fakta" dan "fiksi", dunia realitas dan dunia citra, kejadian sebenarnya dan kejadian rekaan. Keterbatasan kemampuan memilah realitas itu menjadi bertumpuk manakala fase anak memang sarat dengan fantasi.
Karenanya, ketika anak menonton televisi, sebenarnya ia sedang berada dalam dunia spesifik, bercampuradukknya antara fakta, fiksi, serta fantasi.

Langkah Praktis
Melihat keadaan khas anak seperti itu, maka ada beberapa langkah praktis bagi orangtua, guru, atau siapa saja yang peduli anak agar tak terjerumus pengaruh negatif tayangan kekerasan televisi.
Pertama, ambil sisi kemampuan televisi untuk menjadi alat pemersatu anak tanpa memandang latar belakang status sosial ekonomis, suku, ras, dan agama. Dalam baha-sa akademis, posisikan televisi sebagai sarana pendidikan multikultural.
Dengan demikian, dapat ditetapkan salah satu program sebagai contoh pijakan untuk mengembangkan keberagaman sudut pandang anak yang melintasi latar belakangnya yang acapkali mengurung dan mengungkungnya.
Melalui teknik itu, kemampuan anak mengkonstruksi sudut pandang dan mengidentifikasi perbedaan "dunia nyata" dengan "dunia layar" terpantau. Anak dilatih mencermati isi tayangan yang jauh melenceng atau tak pernah mengangkat fakta yang sebenarnya terjadi.
Melalui olah latih distingsi tersebut, anak memiliki pengalaman bagaimana membedakan karakter realitas kehidupan empiris dibanding realitas tayangan televisi.
Kedua, pelibatan pihak orangtua dapat membantu anak merealisa- sikan apa yang mereka pernah ala-mi berkaitan tayangan televisi yang lain. Dapat didiskusikan bagaima- na perasaan, kecakapan, kesuksesan, dan kegagalan merukunkan se-seorang.
Dengan membandingkan langsung tayangan yang cenderung menyederhanakan persoalan dengan kenyataan betapa rumit dan susahnya proses penyelesaian konflik dalam kehidupan sehari-hari (pergaulan dalam kelas) akan diperoleh kesadaran betapa ada beda mendasar antara kehidupan sehari-hari dengan kehidupan dalam televisi.
Ketiga, ajarkan kepada anak bahwa televisi merupakan sarana. Menontonlah bersama anak dan bahaslah secara bersama mengenai tayangan. Berilah anak kesempatan mengatur jadwal dan mencermati isi tayangan. Jadwal itu dapat mencakup segala hal, mulai dari jumlah jam menontonnya.
Dengan santai dorong anak, misalnya, mencatat berapa frekuensi tayangan iklan komersial, atau berapa jumlah adegan kekerasan fisik (seseorang memukul).
Keempat, bantulah anak menjadi lebih menyadari bagaimana televisi mengkomunikasikan pesan. Ajari anak mengenai prinsip, komponen kunci, serta bahasa gambar-suara televisi. Tanamkan pengertian bahwa posisi tayangan televisi dapat diikuti senyampang logis (masuk akal), atau tekankan acara televisi bukanlah bersifat instruksional.—

Suara Pembaruan, 29 November 2006, halaman opini

Tidak ada komentar: