16 Februari 2008

Mengapa TV Tak Bisa Kritis? (2-Habis)

Kecendrungan sekarang media sangat berpihak pada penguasa (baik itu agensi iklan, dewan komisaris, pemerintah, dan pemodal) dan tidak terlalu aktif memberitakan nilai-nilai hak asasi manusia. Padahal dengan kode etik jurnalisme yang ada, diharapkan semua media mengkampanyekan hak-hak asasi manusia termasuk isu-isu perempuan. Media sekarang menurut Rosiana Silalahi sebagai Editor in Chief Liputan6 SCTV, "media yang sangat tergantung pada modal."

Kendati demikian, bagi Rosiana Silalahi, idealisme harus tetap ada. Wajah keseimbangan media massa harus tetap dijaga. Idealisme inilah yang akan dilahirkan dengan disokong kemapanan dari sisi finansial sebuah perusahaan media.

"Kita tidak boleh melupakan idealisme, namun kita juga tidak dapat memproduksi pemikiran-pemikiran sosial yang kritis jika kita tidak sukses secara komersial," katanya

Soal rating juga menjadi perhatian dalam diskusi tersebut karena bisa menjadi pemicu kerja keras sebuah industri media massa. Sayangnya cara apapun dihalalkan untuk menguasai iklan komersial. Celakanya lagi selama ini survei-survei tentang rating hanya dimonopoli oleh satu lembaga survei saja.

Media massa yang tidak perduli pada perempuan bagi Meutia Hatta disebut industri lanang. Kapitalisme dan patriarki seakan menjadi dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Meskipun jumlah perempuan diakui oleh Desi Anwar sebagai Executive Producer Metro TV sebagai jumlah terbesar yang ada baik di belakang atau di depan layar televisi, namun media massa tetaplah dunia laki-laki. Namun realitas ini menjadi representasi masyarakat yang masih male-oriented. Demikian juga ditegaskan oleh Uni Lubis sebagai Pemimpin Redaksi ANTV, "media-media umum masih di-drive agendanya, dan setting-nya oleh laki-laki," katanya. Hal ini berbeda dari media massa bersegmen perempuan yang umumnya pegawainya mayoritas perempuan seperti Femina dan Cosmopolitan.

Desi Anwar kembali mengungkapkan, "perempuan belum berevolusi ke arah itu (sebagai pembuat keputusan-red)." Perempuan menurutnya, masih menjadi tim pelaksana dalam produksi berita. Ini juga didukung oleh keunggulan perempuan dalam komunikasi, kerja tim, dan perancangan segala sesuatu secara detail. Namun apabila perempuan akhirnya menjadi pemimpin redaksi, pengalaman pribadi dan emosinya seringkali mempengaruhi pengambilan kebijakan.

Hal ini dapat diatasi, menurut Desy Anwar dengan bersikap profesional dalam pekerjaan. Perempuan harus dapat melihat apa yang dimilikinya menjadi aset bagi dirinya dan bukan untuk dilecehkan atau dieksploitasi orang lain. Hal ini berkaitan dengan emosi perempuan yang labil dan cenderung meledak-ledak serta dapat mengganggu pekerjaan, yang bisa menunjukkan kelemahan dirinya sendiri.

Desy Anwar dan Uni Lubis cenderung berpandangan sama bahwa dalam media massa itu segala penilaian terlepas dari bias gender. Menurut Desy Anwar, alur bekerja dengan sensitivitas gender malahan akan memundurkan produktivitas kerja. Hal ini kontras dengan usaha Yayasan Jurnal Perempuan mengkampanyekan jurnalisme berperspektif gender yang bertujuan memberikan ruang yang lebih luas bagi kaum perempuan untuk berbicara.*

http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=berita%7C-954%7CX

Tidak ada komentar: