Ketika logika kapitalisme bermain dalam sebuah industri media, maka produk yang dihasilkannya hanyalah berita-berita sensasional atau pun soal-soal rutinitas kerja yang netral gender atas nama produktivitas. Namun, gaya berita semacam itu malah menguatkan stereotipe perempuan sebagai komoditas media massa: baik yang 'dijual' ataupun sebagai 'pembeli'.
Demikian lontaran-lontaran pernyataan dalam dialog terbuka "Perempuan, Media dan Kekuasaan" untuk menyambut Hari Pers Ke-62 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan di Hotel Nikko (13/2/2008). Diskusi itu diawali dengan sambutan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Dr. Meutia Hatta Swasono yang dibacakan oleh Debra Yatim.
Perempuan dalam stereotipe tersebut sebagai sosok yang lemah, mudah dieksploitasi, dan gampang tersubordinasi. Selain itu, beberapa media massa semacam Femina, Eve, dan Cosmopolitan (media majalah) dan FeMale (media radio) terlihat menjadikan perempuan sebagai sekedar partner atau pembeli program yang mereka produksi, singkatnya bagi media-media di atas perempuan hanyalah dilihat sebagai segmen pasar.
Sedangkan di beberapa media televisi seperti SCTV, Metro TV dan ANTV yang jelas-jelas penanggungjawab editorial adalah para perempuan namun memberlakukan sistem pemberitaan yang netral gender dan "obyektif".
Lantas, di manakah ruang media bagi perempuan untuk bisa memahami secara kritis kondisi perempuan Indonesia yang kerapkali dirugikan dalam wilayah publik? Misalnya diskriminasi oleh peraturan daerah yang berbau syariah, diperjualbelikan dalam praktik tindak pidana perdagangan orang, menjadi korban bermacam-macam kekerasan berbasis gender, dibatasi hak politiknya bahkan hak penguasaan terhadap tubuhnya sendiri.
Jurnal Perempuan tampak menjawab tantangan tersebut. Demikian yang disampaikan oleh Mariana Amiruddin sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan. "Yayasan Jurnal Perempuan melalui media-media seperti jurnal, radio, website, ingin menciptakan dunia yang baru dan dunia yang ramah terhadap perempuan," katanya.
Mariana mencontohkan Jurnal Perempuan sebagai media "nonmainstream" secara khusus menyorot dominasi atau ketidakadilan yang menimpa perempuan dan menginginkan adanya perubahan ruang yang terbuka dan menciptakan audiens yang kritis. Melalui proses kapitalisasi, maka bagi Mariana, media massa mengabdi pada logika waktu dan nurani yang sangat pendek, "logika komersial yang tidak lagi kritis terhadap persoalan perempuan", ujarnya. Logika waktu dan nurani yang pendek itu terpatri pada yang soal-soal yang spektakuler dan superfisial saja.
Di poin inilah Mariana Amiruddin mengajak para jurnalis untuk menulis berita secara kritis. Wartawan seharusnya tak hanya menulis berita-berita yang sudah umum diketahui, penulisan yang tak memiliki tantangan, namun menulis dengan membuka sejarah pembungkaman, dan mendobrak stereotipe. …. (bersambung ke-2)
16 Februari 2008
Mengapa TV Tak Bisa Kritis? (1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar