12 Februari 2008

KEMATIAN SPIRITUALITAS RAMADAN

Oleh Teguh Imawan

Tayangan Ramadan di layar kaca telah membuat kalangan masyarakat meradang. Sebagai wakil masyarakat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai masih banyak program siaran televisi nasional yang kurang pas bagi umat Islam, khususnya berkaitan dengan dimensi, yaitu pornografi, kekerasan, dan mistik.
Hasil pemantauan MUI terhadap program siaran televisi swasta yaitu SCTV, TPI, RCTI, Indosiar, Trans-7, ANTV, Lativi, dan Global TV pada sepuluh hari pertama Ramadan memperlihatkan, ada sinopsis, penampilan, adegan, atau dialog yang kurang pas mendukung Ramadan. Bahkan, sekitar 90 persen tayangan televisi dapat meningkatkan dan mendorong budaya pacaran kepada anak sekolah atau remaja.
Dicatat pula, ada tayangan televisi berbau mistik mendekati musyrik, tetapi menampilkan sosok ulama, ustad, dan masjid sebagai cara mengakhiri kemusyrikan dan hal ini cenderung melecehkan umat Islam, apalagi ditayangkan pada bulan Ramadan.Ironisnya, siaran yang dinilai MUI tak layak tonton tersebut diklaim digemari penonton/populer. Misalnya, sinetron Cowok Ideal dan Cinta Lama Bersemi Kembali ditayangkan SCTV. Atau, sinema asyik Legenda Buta Kala (TPI), Stasiun Ramadhan di RCTI.
Sedangkan tayangan Indosiar (Sinetron Keluargaku Harapanku, Stardut, sinetron Kisah Cinta Aladin dan Jasmin, layar Indonesia Dimas Anak Ajaib, sinetron Sumpah Nyai Telaga, dan sinema utama Tragedi Cinta Jaka Tingkir), Lativi (Sinema pagi Lost in Singapore, sinema Indonesia pagi Warkop DKI), Trans 7 (Empat Mata, Gosip Pagi, Empat Mata Sahur, Rumpi), ANTV (Film India Kayamath, Seleb Dance, Silat Lidah), serta Global TV (MTV Video Klip dan program siaran langsung).

Jalan Kritis
Mulai 2007 ini, pengurus MUI lebih memilih jalan kritis menyikapi televisi, yaitu memantau tayangan dan melaporkan temuan ke Komisi Penyiaran Indonesia. Tahun-tahun sebelumnya, MUI memilih metode apresiatif, berupa pemberian penghargaan/award. Dalam pandangan MUI, pemberian anugerah ke sejumlah acara televisi tidak efektif memperbaiki kualitas acara.
Respons pengelola televisi dalam menyikapi kritik MUI itu bercabang tiga. Pertama, program televisi yang menunjukkan niat baik membenahi program dengan porsi amat terbatas, khususnya pada siaran acara langsung (live).
Kedua, program televisi yang tidak menunjukkan pembenahan berarti, bahkan makin menjadi-jadi penampilan program bernuansa kekerasan, mistik, dan eksploitasi rangsangan seksual.
Ketiga, program televisi yang sejak awal Ramadan mengedepankan program yang konstruktif dan kondusif bagi ibadah Ramadan. Paling tidak, minim sekali indikasi pelanggaran terhadap UU Penyiaran.
MUI mengakui, kritiknya bukan untuk membunuh industri televisi. Namun, sebagai bentuk kepedulian mengembangkan televisi yang bermartabat dan bermanfaat. Apalagi data Nielsen Media Research mengungkapkan, jumlah penonton saat santap sahur (03.00-05.00 WIB) meningkat 12 kali lipat (1.200 persen) dan meningkat 35 persen waktu berbuka puasa (17.00-19.00 WIB).
Bila dilihat dari usia penonton, pada waktu sahur, jumlah penonton anak (5-14 tahun) meningkat 22 kali lipat (2.200 persen) dari periode reguler. Pada saat berbuka puasa, jumlah pemirsa anak meningkat 50 persen. Maknanya, acara Ramadan perlu menghargai dan menghormati kepentingan penonton anak.

Posspiritualitas
Kalau ditelaah lebih mendalam, acara Ramadan di televisi tersebut memperlihatkan sebuah kondisi ketika yang kita sebut suci dicemari oleh yang kotor, yang spiritual dinodai oleh yang material, yang Ilahiah ditulari oleh yang duniawi. Sebuah percampuran entitas, peleburan esensi, dan sekaligus persimpangsiuran nilai.
Kondisi bercampurnya nilai-nilai spiritual dengan nilai-nilai materialisme, bersekutunya yang duniawi dengan yang Ilahiah, bertumpang tindihnya hasrat rendah dengan kesucian, sehingga perbedaan di antara keduanya menjadi kabur, itulah yang dinamakan posspiritualitas (Yasraf A. Piliang, 2005).Wacana posspiritualitas menjadikan kontradiksi sebagai ruang hidup dan prinsip utama. Tak bisa dipungkiri, perkembangan masyarakat kontemporer ditandai dengan terseretnya realitas ritual keagamaan (puasa) ke dalam ruang pengaruh budaya populer, sehingga seseorang terjerumus ke pusaran sifat dangkal dan artifisial untuk menjauh dan terpental dari makna hidup dan nilai-nilai hakiki. Idealnya, nilai-nilai Ramadan tidak mendangkalkan ritual dan mencabut makna hakikinya.
Tayangan Ramadan televisi itu hanyalah secuil contoh dari membaurnya gaya hidup dengan ritual dalam kehidupan masyarakat modern. Contoh lainnya, nanti dapat dijumpai pada berbagai ritual keagamaan, seperti Lebaran, haji, zakat, sampai wacana keagamaan di talk show keagamaan, maupun perayaan hari besar keagamaan.
Di satu pihak, televisi merupakan mesin penyebar nilai spiritualitas, tapi sekaligus ia bertindak sebagai wahana berlangsungnya pemalsuan, pendistorsian, dan penyelewengan. Dalam tayangan Ramadan, misalnya, berbagai bentuk wacana spiritualitas seakan menawarkan jalan pencerahan jiwa, tapi pada saat yang sama sedang berlangsung proses memerangkap gaya hidup konsumeristis.
Berbagai bentuk kemasan citraan dan gaya hidup, seperti menu buka puasa, busana simbol kesalehan, parsel, paket liburan, dan berbuka bersama artis kini menjadi bagian dari ritual keagamaan. Sebuah kegiatan ritual itu lantas digiring ke dalam perangkap kultur populer, lengkap dengan manipulasi artifisial, permainan bahasa, dan citra sebagai cara menciptakan imajinasi kolektif. Kesemuanya itu hanyalah cara jitu mengomodifikasi kesucian.
Dalam bingkai sosiologi media, kalau kembali mencermati langkah MUI, maka sikap kritis MUI merupakan upaya mengembangkan budaya tanding (counter culture) menghambat percepatan pembauran negatif antara spiritualitas dan material. Sekaligus, mengajak penonton bersikap analitis dan selektif mengonsumsi tayangan agar (anak) tidak hanyut oleh mesin penebar hasrat rendah.

Jawa Pos, Rabu, 10 Oktober 2007, halaman opinihttp://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=307573

Tidak ada komentar: