12 Februari 2008

Berita Soeharto, Bisnis, dan Politik


[JAKARTA] Porsi besar pemberitaan mengenai kondisi kesehatan hingga pemakaman Soeharto di media massa nasional merupakan bukti kepentingan politik dan bisnis yang bermain dalam ruang pemberitaan publik. Deputi Direktur Yayasan Science dan Estetika (SET) Agus Sudibyo, mengutarakan hal itu dalam diskusi publik "Overdosis Liputan Soeharto, Televisi Milik Siapa?" di Jakarta, Senin (11/2).


Menurut Agus, pemilihan berita yang mempengaruhi rating pada televisi komersial murni sebagai orientasi bisnis. "Rating berita hanya menghitung jumlah orang yang menonton berita saja, tapi tidak menjawab apa yang ingin ditonton oleh masyarakat, sehingga pemilihan porsi berita berdasarkan rating seharusnya tidak dilakukan," tuturnya.


Dikatakan, porsi pemberitaan yang berlebihan ditawarkan hampir seluruh media massa pada masyarakat, membuat masyarakat tidak dapat memilih variasi isu yang lain, sehingga membatasi ruang publik terhadap satu isu tertentu dan menurunkan kualitas pemberitaan itu sendiri.


"Seharusnya berita untuk publik tidak didominasi oleh satu isu saja, sehingga masyarakat tidak mempunyai pilihan lain untuk memilih tayangan yang ingin mereka lihat," tuturnya.


Agus memberi contoh lain, yakni betapa besar pengaruh pemberitaan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus membatalkan kunjungan Diplomatik ke Kuala Lumpur hanya untuk menengok kondisi Soeharto. Dampak Yudhoyono mengubah kebijakannya dapat menurunkan kredibilitas pemerintah Indonesia di mata dunia internasional.


Lebih jauh dikatakan, ada dua kemungkinan besar yang berperan dalam porsi pemberitaan berlebih tentang Soeharto. Dari segi rating yang dihubungkan dengan orientasi bisnis semata, pihak stasiun televisi ingin menarik perhatian penonton sehingga mendapatkan share iklan yang lebih tinggi.


Di sisi lain, Agus menilai ada indikasi psikologi politik yang bermain dalam proses pemilihan isu di media massa yang bersangkutan. Secara tidak langsung, tegasnya, media-media yang bermunculan di zaman Orde Baru, khususnya media televisi secara psikologis politik memiliki "rasa terima kasih" kepada Soeharto.


Setelah Orde Baru berakhir, banyak televisi komersial yang mulai muncul. Rata-rata pemilik modal media tersebut merupakan para pengusaha maupun pejabat yang umumnya dianggap "berhasil" memiliki pengaruh di zaman Soeharto.


"Krisis pada media kemudian menjadi partikularisme di saat media itu sendiri seharusnya tidak boleh partikular," katanya.


Keberpihakan


Sementara itu, mantan Pemimpin Redaksi Metro TV, Don Bosco Selamun yang saat ini menjadi anggota Komisi Penyiaran Independen (KPI) juga tidak menutupi adanya kemungkinan pengaruh dari pihak pemilik modal terhadap porsi dan keberpihakan terhadap isu Soeharto. Dia menilai usia muda dari sejumlah stasiun televisi di kancah industri berita nasional saat ini menjadi salah satu faktor penting yang membuat pemilihan isu menjadi seolah-olah tidak dewasa.


"Yang masalah justru pada saat wartawan-wartawan yang saat ini kurang mendalami sejarah panjang Soeharto, sehingga tidak utuh dalam mengambil sudut berita," tutur Don Bosco.


Dikatakan, tuntutan wartawan di lapangan untuk meliput dan mengejar jadwal tayang juga menyulitkan wartawan itu sendiri untuk bersikap kritis dalam porsi pemberitaan.


Arus pemberitaan Soeharto didramatisasi sedemikian rupa, dapat menyesatkan dan mengubah pandangan serta sikap publik terhadap Soeharto itu sendiri. "Sedih boleh, tapi masyarakat juga harus kritis dalam melihat bagaimana sejarah dan kontribusi Soeharto dalam menaikkan utang-utang negara, belum lagi sejumlah kejahatan politik lainnya," tutur Don Bosco.


Menyoal fokus pemberitaan, Agus berpendapat stasiun televisi seharusnya tidak mencampur-adukkan urusan publik maupun pribadi Soeharto. Ketika arus pemberitaan Soeharto kian deras, media juga ramai-ramai mengangkat sisi pribadi dari mantan presiden tersebut seperti keluarga dan kerabat-kerabatnya yang kerap menghiasi layar kaca sepanjang bulan lalu.


"Tidak semua orang suka dengan porsi pemberitaan Soeharto," kritik Agus.


Agus menyesalkan sistem penyiaran nasional yang tidak demokratis, sehingga televisi di daerah pun mau tidak mau membuat porsi yang besar terhadap pemberitaan tersebut. Baik Agus maupun Don Bosco mengisyaratkan, sah-sah saja media bersikap dalam satu masalah, akan tetapi menampilkan keberpihakan dengan porsi pemberitaan yang berlebihan dan isi yang terlalu didramatisasi seharusnya tidak menjadi pilihan. "Opini yang gencar ditonjolkan oleh media dapat menyesatkan publik," tambah Don Bosco. [CAT/N-4]


http://www.suarapembaruan.com/News/2008/02/12/index.html

Tidak ada komentar: