13 Juni 2010

Keluasan Informasi dan Keluasan Kearifan

NINOK LEKSONO

Tak diragukan lagi, manusia yang hidup dewasa ini berkelimpahan informasi. Di satu sisi, itu berkah karena berbagai kebutuhan informasi dapat dipenuhi dengan mudah. Pada masa lalu, peneliti di negara berkembang sering ketinggalan dalam membuat makalah ilmiah karena harus menunggu jurnal mutakhir yang tak bisa diperoleh secara cepat.

Namun, di balik berbagai kemudahan masa kini, ada pula efek "banjir informasi" yang perlu disimak cermat. Harian International Herald Tribune (IHT), Selasa (8/6), menurunkan laporan panjang tentang hal ini. Otak yang secara alamiah sudah merupakan sistem elektronik alami terpaksa harus ditata ulang.

Salah satu efek kebanjiran informasi dialami oleh Kord Campbell, yang beberapa tahun silam (boleh jadi sebelum datangnya era push e-mail) kelewatan membaca secara rinci kotak surat elektroniknya selama 12 hari, padahal e-mail ini sangat penting karena ada investor yang bermaksud membeli perusahaan internet start-up-nya.

Campbell akhirnya memang dapat menyelamatkan transaksi senilai 1,3 juta dollar AS dan meminta maaf karena keterlambatan membalas, tetapi ia—hingga kini—masih terus berjuang untuk menanggulangi efek banjir informasi. Kini, sebagaimana jutaan orang lain di dunia, ia terus mendapat stimulasi dari gadget elektroniknya. Akibat yang sering terjadi adalah banyak orang yang lupa pada banyak hal, seperti rencana makan malam atau punya kesulitan untuk fokus pada keluarga.

 

Otak di komputer

Laporan yang disusun oleh Matt Richtel di IHT ini lebih jauh menyebutkan, menangani e-mail, panggilan telepon, dan informasi lain yang datang—menurut ilmuwan—bisa mengubah cara orang berpikir dan berperilaku. Seperti juga telah disinggung dalam kolom ini—khususnya ketika membahas soal multitasking—kemampuan kita untuk fokus dibuat merosot oleh tumpah ruah informasi.

Semburan informasi tersebut disebut mengaktifkan impuls primitif untuk merespons setiap peluang atau ancaman. Stimulasi tersebut membangkitkan gairah—menyemprotkan dopamin—yang bisa menciptakan kecanduan.

Padahal, pecah konsentrasi bisa membawa maut, seperti dialami oleh pengendara atau masinis yang menelepon ketika sedang mengemudi atau menjalankan kereta. Jutaan orang lain yang sudah terperangkap dalam banjir informasi ini juga kehilangan daya untuk kreatif dan berpikir dalam.

 

Terus dipacu

Sementara uraian di atas menyampaikan pesan kekhawatiran, tren lain muncul. April lalu, situs jejaring sosial Facebook mencanangkan aturan baru yang mendorong anggota berbagi lebih banyak info tentang mereka. Perusahaan juga mengatakan akan mulai berbagi info dengan mitra, seperti Yelp, Pandora, dan Microsoft (Newsweek, 14/6).

Itu menyiratkan akan ada lebih banyak lagi informasi yang akan beredar. Namun, di sisi lain, platform informasi—dalam hal ini internet—masih sering dilihat dengan kacamata yang tidak tepat. Sebagian cenderung melihat kanal informasi sebagai penyaluran informasi "tidak sehat", seperti—yang hari-hari ini heboh—pornografi.

Harus diakui, seiring dengan merebaknya kuantitas informasi, semakin beragam pula jenis informasi yang disebarkannya. Di sinilah ujian muncul, apakah pengguna sumber informasi juga semakin cerdas dan arif. Dari sisi prinsipnya, medium seperti internet berciri kebebasan sehingga kebijakan untuk melarang atau menghalang-halangi informasi di sini umumnya ditentang. Sudah banyak kita dengar kritik terhadap pemerintahan yang memblokir situs berisi pandangan politik yang berseberangan dengan yang dianut pemerintah tersebut. Bahkan, upaya untuk memblokir situs porno yang pernah dicetuskan oleh pemerintah dua tahun silam juga dirasakan akan kurang efektif.

Sejumlah isu yang diangkat di atas menyiratkan, era merebaknya informasi memunculkan tantangan multifaset atau aneka wajah. Sebagian merisaukan konsekuensi multitasking, sementara sebagian lain merisaukan ancaman beredarnya konten atau informasi yang dipandang bertentangan secara politis atau pornografis.

Sekadar melarang, seperti sudah banyak dikemukakan, tidak akan efektif dan secara umum bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan kebebasan yang mewarnai era internet. Mau tidak mau, terhadap munculnya tantangan multifaset ini kita perlu memiliki strategi memadai. Kajian terhadap efek multitasking yang lebih luas dan dimasyarakatkan, serta penguatan kepribadian, bisa menjadi pilihan.

Arah yang ada memperlihatkan, kanal informasi internet akan terus melebar luas. Disiapkannya protokol internet versi 6 (atau Ipv6) adalah karena protokol yang ada sebelumnya, yakni Ipv4, dinilai sudah tidak akan sanggup mengakomodasi perkembangan pengguna dan layanan ke depan. Sebagaimana pernah dilaporkan dalam Konferensi APRICOT 2007, IPv6 akan mampu menampung 340 miliar-miliar-miliar-miliar (36 digit) alamat IP. Bandingkan dengan Ipv4 yang hanya mampu menampung empat miliar alamat IP.

Kita sedang menyongsong era hadirnya zaman baru yang dipenuhi tidak saja oleh lebih banyak informasi, tetapi juga informasi yang wujudnya—dan kanal yang dilaluinya—lebih beraneka ragam. Ipv6 akan menawarkan peluang baru, seperti masuknya internet ke aplikasi seluler, dengan berbagai pilihan koneksi (UMTS, WiFi, Wimax, dan 3G), juga layanan VoIP multimedia, jejaring sosial (SMS, chat), sensor jaringan (untuk memantau perlengkapan manufakturing dan sistem keamanan, bahkan setelah serangan 11 September juga digunakan untuk pemantauan karena bisa mendeteksi racun dan radioaktivitas).

Dalam perspektif itulah, keluasan alam pikir dan wawasan—serta strategi untuk meresponsnya—amat diperlukan. Jangan sampai, saat ada heboh video porno, kanal informasi yang dipermasalahkan.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/09/03184873/keluasan.informasi.dan.keluasan.kearifan

Tidak ada komentar: