11 Juni 2008

RUU Rahasia Negara - Aturan yang Melawan Arus Keterbukaan...

Wisnu Dewabrata

Pro-kontra keberadaan Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Rahasia Negara susunan pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertahanan, kembali mengemuka. Sebagian wakil rakyat keberatan dengan RUU itu.

Sekitar minggu terakhir bulan Mei lalu, RUU itu mulai dibahas di Komisi I DPR dalam rapat kerja dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta. Proses pembahasan pun saat itu menuai beragam pendapat dari masyarakat. Sejumlah pihak menginginkan DPR langsung saja membatalkan seluruh isi RUU itu.

Di sisi lain, tenggat tiga bulan yang diberikan Komisi I kepada pemerintah guna memperbaiki RUU itu bisa "dimanfaatkan" untuk menunda proses pembahasan RUU itu. Bahkan, hingga waktu yang tak bisa dipastikan mengingat sekarang setahun menjelang pemilu.

Dalam rapat kerja itu, 10 perwakilan fraksi di Komisi I memang menyimpulkan untuk mengembalikan RUU itu kepada pemerintah, dengan berbagai pertimbangan dan keberatan. Pemerintah pun menyanggupi.

Disayangkan, saat mengembalikan RUU itu, anggota Komisi I tidak secara spesifik dan tegas menyebut aturan atau pasal mana yang harus diubah atau dihilangkan. Padahal, kejelasan dan ketegasan dinilai sangat diperlukan dalam konteks ini.

Sejumlah politisi di Komisi I boleh saja berpendapat menentang sejumlah pasal dalam RUU itu. Tetapi, sejumlah kalangan sepertinya telanjur khawatir sikap penolakan itu bisa saja berubah 180 derajat sewaktu-waktu.

Dalam sejumlah kesempatan, wanti-wanti soal kemungkinan inkonsistensi sikap seperti itu sempat disuarakan, salah satunya dalam diskusi yang digelar Aliansi Masyarakat Menolak Rezim Kerahasiaan, akhir Mei lalu di Dewan Pers, Jakarta.

"Jangan sampai DPR bersikap saiki dele, sesok tempe (sekarang kedelai, besok tempe). Apa yang dijanjikan sering meragukan dan tidak konsisten dengan apa yang dilakukan," kata peneliti dari Centre for Strategic dan International Studies (CSIS), Kusnanto Anggoro, saat itu.

Anggota Dewan Pers, Wina Armada, juga mengeluhkan inkonsistensi beberapa anggota Dewan, yang salah satunya tampak gamblang dalam Undang- Undang (UU) Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, terutama terkait dengan aturan kampanye di media massa. "Mereka sebelumnya bilang, soal kampanye di media massa tidak perlu diatur. Tetapi, apa yang kemudian terjadi? Mereka membuat aturan yang memungkinkan media massa dikenai sanksi berat jika melanggar aturan yang mereka buat," ujarnya.

Mereka yang menolak menilai RUU Rahasia Negara tidak lagi relevan karena sebelumnya DPR dan pemerintah sepakat mengesahkan UU tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Dalam UU KIP diyakini terdapat setidaknya tiga pasal yang dinilai dapat mewakili kebutuhan pemerintah akan jaminan hukum atas rahasia negara demi kepentingan nasional. Ketiga pasal itu mengatur soal informasi yang dikecualikan.

Dalam ketiga pasal UU KIP (Pasal 17, 18, dan 19) itu diatur soal informasi apa saja yang dapat dikecualikan keterbukaannya terhadap publik. Tidak hanya itu, di Pasal 2 Ayat (2) UU KIP juga ditegaskan, semua informasi yang dikecualikan tadi bersifat ketat dan terbatas.

Keberadaan UU KIP juga diyakini sebagai sebuah kemajuan, apalagi mengingat UU itu berasal dari inisiatif DPR. Sayangnya, setelah disahkan, UU KIP ditetapkan baru bisa dilaksanakan dalam dua tahun ke depan.

Kesepakatan pemberlakuan seperti itu diyakini sebagai cara pemerintah untuk mengantisipasi keberadaan UU KIP. Masa jeda dua tahun dimanfaatkan untuk menghasilkan "penyeimbang", yang diyakini mengambil bentuk RUU Rahasia Negara.

Akibatnya, jika RUU Rahasia Negara berhasil, keberadaan dan aturan yang ada dalam UU KIP dipastikan bakal tereduksi, "ternetralisasi", atau terpinggirkan oleh aturan tentang rahasia negara yang disahkan setelahnya.

Apalagi mengingat ada banyak pasal dalam draf yang diajukan pemerintah mengandung "pasal karet" serta mudah diutak-atik lantaran sifatnya yang multi-interpretatif dan memiliki ruang lingkup yang kelewat besar dan juga melebar.

Belum lagi soal keberadaan Dewan Rahasia Negara, yang pembentukan serta kewenangannya diatur dalam RUU. Tidak hanya punya kewenangan yang sangat besar, secara ketatanegaraan pengaturan keberadaan dan status dewan itu dalam pemerintahan dikhawatirkan menjadikannya semacam lembaga super (superbody).

Jika hal itu terjadi, dipastikan keberadaan Dewan Rahasia Negara akan berbenturan dengan departemen, instansi, atau lembaga negara lain dalam sistem ketatanegaraan walau lembaga itu memiliki dasar hukum yang kuat dalam konstitusi.

Dalam Bab V draf RUU Rahasia Negara versi final yang diperoleh Kompas disebutkan, Dewan Rahasia Negara bertugas menentukan kebijakan tentang rahasia negara (Pasal 26). Dewan itu akan diketuai Menteri Pertahanan dan beranggotakan sejumlah menteri lain (Pasal 24 dan 25), yang bertanggung jawab langsung ke Presiden (Pasal 24).

Ahli hukum tata negara Irman Putra Sidin mengakui, ia membayangkan lembaga negara, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, DPR, atau bahkan eksekutif pada satu waktu membutuhkan keterangan, informasi, atau penjelasan dari pemerintah atau instansi tertentu terkait suatu hal, tetapi departemen atau instansi yang dimintai penjelasan itu bisa menolak dengan alasan informasi diminta tersebut masuk kategori rahasia negara. Penolakan itu kemudian dipertegas Dewan Rahasia Negara.

Sebagai lembaga dengan kewenangan super seperti itu, Dewan Rahasia Negara dimungkinkan "mengalahkan" kekuasaan legislatif maupun yudikatif.

"Kalau mau mempersoalkan ke Dewan tadi, kan percuma saja. Toh, anggota Dewan para menteri yang bertanggung jawab ke Presiden. Bisa dibayangkan, misalnya, MA sebagai otoritas hukum tertinggi, atau bahkan DPR, tidak berdaya berhadapan dengan Dewan Rahasia Negara," ujar Irman.

Terbuka atau dirahasiakan?

Sejak awal, keberadaan RUU Rahasia Negara memang mengundang kontroversi, terutama dari elemen masyarakat sipil, mulai dari akademisi, peneliti, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga pers. Mereka menilai, RUU itu hanya menciptakan rezim pembatasan akses dan pemaksimalan pengecualian (limited access-maximum exemption), yang kembali diterapkan oleh otoritas negara dan pemerintah seperti terjadi pada masa lalu.

Padahal, saat ini rezim serba tertutup seperti itu sudah sangat bertentangan dengan konstitusi, yang menganut paham kebalikannya, pemaksimalan akses dan pembatasan pengecualian (maximum access-limited exemption). Hal itu tercantum dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.

Kalau dalam konstitusi terdapat ketentuan yang membatasi, seperti tercantum dalam Pasal 28J Butir (2), pembatasan itu semata-mata dilakukan untuk menjamin adanya pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.

Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi I dan pemerintah, Meli lalu, Agus Sudibyo dari Koalisi untuk Kebebasan Informasi mendesak pemerintah dan DPR agar lebih memfokuskan diri pada pelaksanaan UU KIP.

Pasal tentang informasi yang dikecualikan dalam UU KIP, menurut dia, sudah mencakup prinsip dan substansi rahasia negara. Jika ketiga pasal soal informasi yang dikecualikan dalam UU KIP terbukti tidak berjalan, barulah pemerintah bisa mengklaim aturan khusus soal rahasia negara mutlak diperlukan.

Sikap bersikeras pemerintah memajukan RUU itu mengundang tanda tanya. Salah satu alasan yang sering dikemukakan adalah keberadaan RUU Rahasia Negara telah diagendakan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2008. Alasan itu dinilai mengada-ada lantaran penetapan Prolegnas tidak final dan masih bisa dikoreksi sesuai dengan kebutuhan dan keadaan.

Seharusnya pemerintah dan Komisi I bisa lebih memerhatikan berbagai keberatan serta kekhawatiran berbagai kalangan sipil terkait dengan rencana pengesahan RUU Rahasia Negara. Boleh jadi, keprihatinan Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dapat dijadikan pertimbangan.

Menurut Danang, RUU Rahasia Negara adalah sebuah produk hukum yang mengerikan karena RUU itu menafikan seluruh prinsip penyelenggaraan negara dan pemerintahan modern yang pada dasarnya menganut prinsip transparansi serta akuntabilitas. Banyak negara saat ini mendorong transparansi dan keterbukaan di pemerintahan masing-masing.

"Namun, mengapa sekarang pemerintah (Indonesia) malah mau melakukan kebalikannya? Saya jadi mempertanyakan sebenarnya apa yang ada dalam pikiran konseptor dan penyusun RUU ini? Mereka seolah berasal dari masa lalu dan terbelakang," ujar Danang. Mereka seolah tak memedulikan kemajuan teknologi informasi dan seluler.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/11/00595898/aturan.yang.melawan.arus.keterbukaan...

Tidak ada komentar: