20 Juni 2008

Rosihan Anwar, Wartawan Senior Spesialis Penulis Obituari

Tak Punya Bank Data, Hanya Andalkan Ingatan

Rosihan Anwar yang bulan lalu merayakan ulang tahun ke-86 merupakan wartawan penulis obituari yang paling produktif. Wawasan dan pergaulannya yang luas serta tulisannya yang bergaya bercerita (story teller) memikat pembaca.

RUMAH loji peninggalan Belanda di Jalan Surabaya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, itu tampak rindang dengan pohon-pohon di sekelilingnya. Sepetak taman kecil di halaman menambah kesan asri. Sebuah Kijang kapsul tampak diparkir di jalan masuk. Sebuah mobil lagi, Toyota Alphard, berada di dalam garasi.

''Ayo, silakan masuk,'' kata Rosihan Anwar menyambut kedatangan Jawa Pos.

Rambut bapak tiga anak kelahiran Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, tersebut tampak memutih. Tapi, wajahnya masih segar. Dia tampak santai dengan kemeja biru serta celana abu-abu. ''Tensi saya lagi naik,'' katanya. Beberapa kali dia terlihat terbatuk-batuk.

Ruangan-ruangan dalam rumahnya tampak terawat. Jendela dengan terali khas tempo dulu juga masih dipertahankan keasliannya. Dinding ruang tamu dipenuhi lukisan dengan berbagai aliran serta karikatur diri. Beberapa ornamen khas dari berbagai negara juga dipajang di sejumlah lemari khas Betawi. ''Ornamen-ornamen itu saya beli saat saya di luar negeri,'' ungkapnya.

Karir jurnalistik Rosihan sangat panjang. Sebelum mendirikan harian Pedoman, dia tercatat sebagai reporter Asia Raya pada masa pendudukan Jepang. Saat Indonesia baru berusia sekitar tiga bulan, dia bergabung menjadi redaktur di harian Merdeka yang didirikan tokoh pers B.M. Diah.

Selama 1948-1961, dia memimpin harian Pedoman sebelum koran itu akhirnya ditutup oleh Soekarno. Pada era Soeharto, korannya bangkit lagi. Bahkan, selama enam tahun, sejak 1968, dia menjabat ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sayangnya, koran itu juga diberedel orang kuat pascaperistiwa Malari pada 1974.

Gaya menulis obituari Rosihan Anwar yang sudah menelurkan lebih dari 20 buku itu didapat saat belajar di School of Journalism, Columbia University, New York, Amerika Serikat, pada 1954. Selama dua bulan di sana, Rosihan bersama sejumlah editor dari berbagai negara belajar tentang berbagai aspek kewartawanan.

Dalam salah satu sesi, para editor itu diajak berkunjung ke kantor redaksi The New York Times. Di dalam salah satu ruang redaksi, ternyata, ada desk yang khusus mengumpulkan data-data seorang tokoh. Data-data tersebut lalu diolah dalam bentuk obituari jika sang tokoh itu meninggal. "Saat mereka meninggal, data-data tersebut tinggal mereka cabut untuk diterbitkan," kata Rosihan.

Dari kunjungan dan dialog dengan pengasuh koran terkemuka di New York itulah, dia paham bahwa obituari adalah salah satu berita penting. Saat seseorang meninggal dunia, lanjut dia, publik perlu diperkenalkan sejarah orang itu. "Supaya dia tidak dilupakan. Dari situ, saya mulai berpikir itu adalah ide yang bagus," kenang Rosihan.

Namun, sekembali ke Indonesia, Rosihan malah tidak sempat mempraktikkan ide tersebut. Di harian Pedoman, porsi obituari tidak begitu mendapatkan perhatian. Jika ada tokoh meninggal, korannya hanya menulis berita peristiwa yang pendek. "Sampai Pedoman diberedel, saya nggak sempat menulis obituari," ujar Rosihan yang juga dikenal sebagai tokoh film.

Tulisan obituari pertama yang dibuat Rosihan terbit di harian Pos Kota. Menurut suami Siti Zuraida Sanawi tersebut, saat itu dia menulis obituari Menteri Sosial Sudarsono (ayah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono). "Itu pada tahun 60-an. Saat itu saya menulis obituarinya pendek saja," tuturnya. Setelah itu, masih ada obituari dua tokoh yang dia tulis di Pos Kota.

Baru saat menjadi wartawan freelance, Rosihan lebih rajin menekuni "spesialisasi" membuat obituari. Pilihan untuk menulis obituari itu juga memiliki alasan. Di era Orde Baru, kata dia, pandangan politiknya sering beroposisi dengan Soeharto. "Daripada saya bingung cari bahan untuk menulis politik, ketika itu paling aman menulis obituari," kata Rosihan.

Tulisan-tulisan obituarinya di harian Kompas mendapatkan apresiasi positif dari khalayak pembaca. Kunci tulisan obituri orang-orang yang dia kenal itu mengandalkan alur cerita personal. Rosihan menceritakan suatu tokoh dengan mengambil sudut pandang sendiri. "Pakem saya personal. Saya menulis pengalaman saya, itu ternyata menarik buat orang," imbuhnya.

Jika di AS penulis obituari di koran seperti The New York Times mengandalkan tulisan dari bank data berupa berita-berita dan artikel tokoh yang disimpan, tidak demikian Rosihan. Saat menulis obituari, Rosihan menyatakan tidak memiliki file apa pun untuk dibuat data. Semua itu dia lakukan sendiri dengan mengandalkan daya ingat. Untungnya, dia memiliki ingatan yang baik. "Ya cuma ini saja, mengingat-ingat," katanya bangga.

Dengan mengandalkan daya ingat, Rosihan tetap bisa menulis obituari saat deadline mepet sesuai permintaan redaksi. Dia sering hanya punya waktu dua jam demi menulis obituari sepanjang dua halaman. Sebab, terkadang seorang tokoh meninggal pada jam-jam sore dan malam. Padahal, obituari itu harus terbit esoknya. "Biasanya, mereka (redaksi) menelepon saya, terus langsung saya buatkan," ujar Rosihan.

Sebelum memulai menulis, Rosihan biasanya membuat outline cerita sang tokoh terlebih dahulu. Dia selalu bercerita tentang kesan pribadi tentang kehidupan dan pekerjaan tokoh yang bersangkutan. Karena bersifat personal, kesan itu adalah sesuatu yang baru dan belum banyak diketahui pembaca.

Rosihan selalu menulis sendiri obituari pada mesin ketik di ruang kerjanya. Menurut dia, mesin ketik tua itu sudah menemaninya 40 tahun. Dari situlah, puluhan obituari tokoh terbit di berbagai media ditulis.

Mengapa tidak menggunakan komputer? ''Kan ada orang yang butuh suasana kerja yang lain. Saya menikmati suara mesin ketik itu,'' katanya.

Akibat bekerja di bawah tekanan waktu, Rosihan mengakui ada beberapa obituari yang dia tulis terkadang salah nama ataupun penyebutan waktu. Beberapa kali dia langsung meminta maaf kepada keluarga atas kesalahan tersebut. ''Itu saya akui,'' ujarnya.

Rosihan mengkritik sikap para pekerja media yang sering tidak menghargai sejarah. Pernah, satu kali, Rosihan mengaku menulis sebuah obituari tentang Kapten Islam Salim, putra dari Haji Agus Salim, diplomat ulung yang juga pahlawan nasional dari Sumatera Barat. Namun, saat disetorkan ke redaksi, ternyata obituari itu ditolak hanya karena sang tokoh dianggap tidak terkenal. ''Saya kecewa saat itu karena mereka tidak menghargai sejarah,'' katanya.

Dari pengalaman itulah, Rosihan akhirnya mulai berpaling. Dia tidak lagi menulis eksklusif di satu media saja.

Rosihan mengaku mensyukuri mendapat karunia umur panjang dari Tuhan. Dua anak perempuanya, Aida Fadhia dan Naila Karima, adalah seorang dokter. Sedangkan Omar Lutfi Anwar adalah seorang sarjana ekonomi.

Meski telah puluhan kali menulis obituari, Rosihan tak berpikir siapa yang nanti menulis obituari jika dirinya meninggal. Ada seorang pemimpin sebuah media yang menawarinya mengumpulkan data tentang dirinya. Namun, Rosihan menolak ide dari orang tersebut.

Menurut dia, dengan mengumpulkan data tentang dirinya, ada kesan melangkahi kehendak Yang Mahakuasa. "Saya tidak mau melangkahi Tuhan. Kalaupun nanti ada yang menulis, biar siapa pun boleh menulis (obituari) saya,'' katanya. (el)
TRI MUJOKO BAYUAJI, Jakarta, Jawa Pos, 20 juni 2008

Tidak ada komentar: