29 Juni 2008

Jurnalisme Warga - Halo, Publik Ingin Bicara

Peristiwa besar apa yang sekarang bisa luput dari pantauan media? Jika reporter "kecolongan" sebuah peristiwa, media masih bisa berharap ada warga yang mencatat dan merekam peristiwa tersebut. Inilah zaman khalayak bisa berperan sebagai jurnalis.

Anda mungkin masih ingat bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam akhir tahun 2004. Banyak orang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di Aceh hingga sebuah rekaman video amatir ditayangkan Metro TV.

Gambar yang diambil Hasyim Mulyadi, juru gambar acara perkawinan di Banda Aceh, itu sangat dramatis. Kita bisa menyaksikan bagaimana air bah menyapu jalan yang tampak lengang, tiang listrik, rumah- rumah, kendaraan, dan manusia hingga ke depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Tiba-tiba saja bencana besar itu hadir di layar kaca sebagai tontonan yang tragis.

"Itu adalah rekaman video amatir paling fenomenal yang pernah kami dapatkan. Gambar itu kemudian dipakai hampir seluruh televisi di dunia," ujar Wakil Pemimpin Redaksi Metro TV Makroen Sanjaya, Jumat (27/6).

Peristiwa itu, tutur Makroen, membuat Metro TV sadar bahwa publik berpotensi besar untuk dilibatkan dalam proses pengumpulan fakta di lapangan. "Ini menjadi cikal bakal konsep citizen journalism yang kini diusung Metro TV," kata Makroen.

Citizen journalism (jurnalisme warga) adalah konsep jurnalisme yang memberikan ruang lebih luas kepada khalayak untuk ikut membuat dan menentukan isi berita. Mereka tidak lagi semata menjadi konsumen berita.

Pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali, mengatakan, ini sebenarnya bukan konsep baru. Pada tahun 1980-an sudah muncul konsep public journalism dan civic journalism yang hampir sama dengan citizen journalism.

Bagaimana konsep itu dijalankan Metro TV? Makroen menuturkan, pihaknya membuka kesempatan sebesar-besarnya kepada pemirsa untuk mengirimkan rekaman video mereka. Jika rekaman itu memiliki nilai berita, Metro TV akan menayangkannya, tentu setelah melalui proses penyuntingan.

"Rekaman video amatir menjadi bagian integral acara kami. Rekaman itu bisa ditayangkan di segmen berita atau acara khusus seperti Suara Anda dan Eye Witness," kata Makroen.

Saat ini, setiap hari Metro TV menerima setidaknya tujuh rekaman video amatir dalam format VCD dan kaset. Selain itu, Metro TV juga mengunduh sekitar 10 rekaman gambar dengan kamera telepon seluler (ponsel) yang dikirim pemirsa melalui situs web Metro TV. Dengan konsep ini, Metro TV tidak takut kecolongan berita.

Kecuali Metro TV, stasiun televisi lain juga melakukannya. Karena itu, rekaman video amatir silih berganti bermunculan di beberapa stasiun televisi. Sebagian rekaman membuat heboh, seperti rekaman kekerasan praja STPDN, geng sepeda motor di Bandung, dan rekaman adegan intim anggota DPR bersama seorang penyanyi dangdut. Semua itu rekaman warga yang bukan jurnalis.

Zaman memang telah berubah. Teknologi memungkinkan orang berbagi informasi dengan cepat dan pada saat bersamaan demokrasi memungkinkan orang mengungkapkan gagasan dengan bebas. Buahnya, media bisa membahas apa saja, mulai masalah remeh-temeh seperti selebriti A berpacaran dengan selebriti B hingga isu sensitif seperti perbedaan dalam menafsirkan ajaran agama.

Yang remeh dan yang serius sama-sama disajikan dalam koridor tontonan, talk show, ulasan berita, bahkan infotainment. Keduanya sama-sama mendapat tepukan penonton.

Radio

Konsep jurnalisme warga juga diterapkan sejumlah radio bahkan jauh sebelum televisi memulainya. Johannes A Zacharias, Studio General Manager Radio Sonora Jakarta, mengatakan, pihaknya mulai membangun jejaring informasi dengan pendengarnya sekitar satu dekade lalu.

Semuanya, lanjut Johannes, dimulai ketika ponsel marak. Saat itu pendengar mulai menelepon atau mengirim SMS sekadar memberi informasi ke stasiun radio. Puncaknya ketika terjadi kerusuhan tahun 1998. "Banyak sekali pendengar yang melaporkan kerusuhan di beberapa titik. Banyak juga yang sekadar menanyakan situasi Jakarta atau mencari keluarga," kata Johannes.

Setelah peristiwa kerusuhan, kru Sonora sadar bahwa pendengar merupakan "reporter khusus" yang jumlahnya melimpah ruah. Sejak saat itu Sonora mengelola mereka secara serius. Laporan mereka menjadi bagian tidak terpisahkan dari acara Sonora. "Hal itu membuat acara kami secara keseluruhan hidup," kata Johannes.

Sekarang, setiap hari ada sekitar 100 SMS atau telepon pendengar yang mengabarkan peristiwa. Jika ada kejadian besar, seperti banjir, jumlah SMS atau telepon seperti itu bisa mencapai 4.000. Laporan mereka memudahkan 12 anggota redaksi Sonora memantau setiap kejadian.

"Ada pendengar yang setiap hari menelepon atau mengirim berita SMS beberapa kali. Padahal, mereka tidak dibayar," kata Antonius Oky, Assistant Program Manager Sonora Jakarta.

Yanna Hartini (48), pengelola toko pompa air di Jakarta, adalah salah satunya. Dia mengaku setiap hari mengirim 6-7 SMS mengenai kejadian apa pun yang dia saksikan ke stasiun radio, mulai kemacetan lalu lintas, kecelakaan, sampai demonstrasi.

"Saya senang kalau SMS saya dibacakan dan informasinya bermanfaat bagi orang banyak. Saya juga selalu memantau radio jika berkendaraan sehingga tahu daerah mana saja yang macet total," kata Yanna.

Effendi Gazali berpendapat, kesadaran mengusung konsep jurnalisme warga memang sudah muncul di kalangan media. Namun, konsep itu sebenarnya belum berjalan baik. Mengapa? Karena kekuasaan untuk menentukan isu dan apa yang disebut kepentingan publik masih didominasi pengelola media dan pemilik modal.

Warga baru sebatas menyumbang informasi atau rekaman gambar. Itu pun masih diolah lagi sesuai kepentingan media. Budi Suwarna

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/29/01462767/halo.publik.ingin.bicara

Tidak ada komentar: