
Saat ditemui Kompas.com, Sabtu (20/5), Neni mengaku resah. Tahun 2006 lalu, ia tak mendapatkan BLT. Padahal, ia telah direkomendasikan sebagai salah satu yang berhak mendapatkannya. "Saya ini kurang susah apa? Suami cuma Pak Ogah (orang yang membantu mengatur lalu lintas di pemutaran jalan). Anak masih sekolah, saya cuma buruh nyuci," keluh Neni di rumahnya yang sempit.
Rumah Neni memang telah berlantai, tak beralaskan tanah, tapi hanya terdiri dari satu kamar. Memasuki rumah Neni, bak memasuki gang sempit tak lebih dari 1,5 meter. Memanjang kira-kita 10 meter, di bagian belakang sudah dapur dan kamar mandi yang kondisinya memprihatinkan.
Penghasilan Neni per bulan mentok-mentoknya Rp 600.000, upah mencuci di tiga tempat. Tahun 2006 lalu, ia masih bisa bersabar. Berpikiran positif bahwa ia belum ditakdirkan mendapat rejeki nomplok BLT. Tahun ini, saat kabar pembagian BLT menyeruak, angan Neni langsung melambung. Sebuah angan, yang tetap menjadi angan. Sebab, pemerintah masih akan menggunakan data lama untuk pembagian BLT tahun ini.
Artinya, Neni harus memupus segala harapannya. "Saya pengen benerin TV yang rusak, udah tiga bulan. Nggak punya duit, buat anak sekolah aja duitnya. Satu lagi, saya mau perpanjang sewa kuburan anak saya. Harusnya Februari kemarin, karena nggak punya duit saya khawatir kuburannya udah dipake orang lain," kisah Neni.
Kuburan yang ia maksud adalah kuburan anak ketiganya, Indra Gunawan, yang meninggal tahun 2002 lalu. Indra dimakamkan di TPU Karet. Setiap tiga tahun sekali, Neni harus memperpanjang sewa lahan kuburan sebesar Rp 100.000. Kalau tidak, ia harus pasrah tak bisa lagi berziarah ke kuburan putranya itu.
"Udah diingetin terus, tapi saya mau gimana lagi. Uang 100 ribu itu besar sekali buat saya. Saking terpaksanya, makan aja kadang cuma nasi putih nggak pakai lauk," tuturnya.
Cerita Neni, hanyalah satu dari sekian ribu cerita yang berkisah sama tentang carut marutnya pembagian BLT. Kekecewaan mendalam, akibat tak mendapat uang 'surga' yang menurut Pemerintah untuk meringankan beban hidup rakyat itu. Dua tahun lalu, mungkin pemerintah tak mendengar atau memang tutup telinga terhadap kisah yang pernah pula mereka lontarkan. Kini? Kita tinggal menunggu kisah yang sama. ING
Tidak ada komentar:
Posting Komentar