Itulah padangan antropolog sosial Swedia Jonathan Friedman tentang globalisasi. Bahkan, ditegaskan pula bahwa perusahaan multinasional memanfaatkan media komunikasi modern untuk memperkuat secara ekonomi sekaligus mendominasi secara kultural (James Lull, 2000:225).
Di era global, dunia ini hanyalah sebuah pasar besar yang didorong kekuatan dominan kapitalisme global, sehingga segala hal harus dikomersialkan dalam skala global pula. Salah satu komponen kunci sukses ekonomi kapitalisme adalah spirit kompetisi atau kontestasi.
Kontes Popularitas
Di layar televisi, bau kompetisi tercium kuat ketika acara lisensi dari Amerika Latin dan Amerika Serikat hinggap ke layar TV swasta melalui program AFI dan Indonesia Idol. Dalam beberapa tahun terakhir ini, semua pihak yang ingin populer (termasuk sosok calon presiden
Fakta ini memperlihatkan kebenaran dari studi J. Tomlinson (1999) yang menyatakan sehebat-hebatnya produk kultural globalisasi, ia masih tertatih-tatih ketika masuk ke ruang-ruang kultural zona (wilayah, negara) tertentu. Acara populer di Amerika Serikat (seperti American Idol) atau Brasil (Carnival) terkadang tak bisa menundukkan selera pemirsa global.
Sejumlah acara populer diakui hanya perkasa di satu belahan dunia, namun ditolak di belahan lainnya. Bentuk-bentuk produk kultural cenderung yahud sirkulasinya secara regional ketimbang global. Karena itu globalisasi kultural akhirnya dipahami memang tidak harus menghancurkan maupun mengganti kultur sosial lokal.
Glokalisasi
Demi menghindari tabrakan kultural yang kontraproduktif dengan kepentingan akumulasi kapital, muncullah fase yang disebut dengan glokalisasi (glocalization) tayangan. Glokalisasi merupakan pencampuran fitur-fitur kultur lokal dalam produk yang telah mengglobal.
Layaknya McDonald’s, produk global tayangan televisi telah dibakukan standar fundamental acara, kemasan setiap segmen, kualitas standar visual, dan komposisi frame layar, maupun kaidah-kaidah penjurian. Fitur lokal produk global tersebut, dalam kasus AFI maupun Indonesia Idol, lebih merujuk pada sosok penyanyinya.
Tentu saja, industri hiburan skala global sungguh khawatir dan waspada terhadap glokalisasi. Kompromi kultur lokal tetap dikalkulasi dalam bingkai keuntungan finansial. Glokalisasi sebagai ajang pertaruhan dominasi kultural telah memaksa pelaku industri pengekspor acara global menyiapkan tiga strategi utama memaksimalkan profit.
Pertama, strategi adopsi. Mereka mengemas sebuah ide dari satu pasar dan menggunakannya ke pasar lain tanpa melakukan mengubah kemasan. Jadi menjual acara secara apa adanya. Misalnya, film lepas box office, sirkus, telenovela.
Kedua, strategi adaptasi. Yakni mencomot acara dari satu tempat atau pasar, lantas “menjahit” ulang untuk dipersembahkan ke pasar (negara lain). Syaratnya, tetap mempertahankan nilai dasar dan elemen kunci dari ide orisinalnya. Fear Factor
Ketiga, strategi “invent”. Caranya membuat program baru ke sebuah pasar (konsumen televisi global) ketika riset memperlihatkan betapa strategi adopsi dan adaptasi lumpuh dari segi jumlah pemirsa. Ini belum ada di TV
Dalam praktek bisnis, pelaku industri hiburan televisi global senantiasa ditopang pemasaran yang canggih dan kiat promosi strategis. Mereka ini selalu berpatokan pada pertanyaan, kepada siapa acara didedikasikan, untuk tujuan apa, serta kepada siapa yang menikmati keuntungan kultural.
Kalau kembali ke tayangan TV, glokalisasi lebih untuk dua kepentingan sekaligus. Secara kultural, industi hiburan butuh kontestan dari seantero
Dalam kasus seperti itu menjadi sangat rasional bila ditempelkan fitur SMS sebagai kanal pendukung emosional lokalitas asal kontestan. Untuk memperkuat tiupan lokalitas, dibuatlah acara nonton bareng dengan pemimpin daerah (walikota dan/atau gubernur). Ketika spirit lokalitas mengkristal, episode acara bisa diolor dalam batas waktu yang memungkinkan demi menampung gelimang finansial yang berputar di balik SMS dukungan.
Prosedur glokalisasi acara, pada akhirnya, juga menghambat jalan seseorang meraih popularitas. Kanal layar penyemat popularitas kian mengeras ganjalannya. Karena untuk bisa akseleratif dengan kepentingan layar tayangan, kontestan juga membutuhkan modal besar (voucher pulsa SMS dukungan, misalnya). Bagi yang tak kuat finansial, mereka bisa nekad menempuh jalan pintas. Menjadi model cover majalah Playboy atau cara lain, misalnya. Inilah dilema pencari popularitas via televisi melalui rute globalisasi dan glokalisasi. (Teguh Imawan, KameliaTV) —
Tidak ada komentar:
Posting Komentar