08 April 2008

Indonesian Idol, Asian Idol, America Idol, Kontes Bakat Televisi, Menjaring Popularitas, dan Glocalization Acara Layar Kaca

Tak bisa disangkal, kita memang telah terjebur dan larut dalam globalisasi. Namun, yang jarang diaku adalah makna globalisasi yang bukan sekadar sebuah arus, tapi ia lebih sebagai sistem eksploitatif dunia (a world system of exploitation). Kuku globalisasi kokoh menancap pada tiga landasan, yaitu perusahaan ekonomi multinasional, investasi global, serta mesin-mesin spekulasi.

Itulah padangan antropolog sosial Swedia Jonathan Friedman tentang globalisasi. Bahkan, ditegaskan pula bahwa perusahaan multinasional memanfaatkan media komunikasi modern untuk memperkuat secara ekonomi sekaligus mendominasi secara kultural (James Lull, 2000:225).

Di era global, dunia ini hanyalah sebuah pasar besar yang didorong kekuatan dominan kapitalisme global, sehingga segala hal harus dikomersialkan dalam skala global pula. Salah satu komponen kunci sukses ekonomi kapitalisme adalah spirit kompetisi atau kontestasi.


Kontes Popularitas

Di layar televisi, bau kompetisi tercium kuat ketika acara lisensi dari Amerika Latin dan Amerika Serikat hinggap ke layar TV swasta melalui program AFI dan Indonesia Idol. Dalam beberapa tahun terakhir ini, semua pihak yang ingin populer (termasuk sosok calon presiden Indonesia) mau tak mau nimbrung dan masuk di panggung pencarian bakat berselera dan berlisensi internasional ala AFI dan Indonesia Idol, sehingga melahirkan anybody menjadi somebody via ajang kontes bakat.

Fakta ini memperlihatkan kebenaran dari studi J. Tomlinson (1999) yang menyatakan sehebat-hebatnya produk kultural globalisasi, ia masih tertatih-tatih ketika masuk ke ruang-ruang kultural zona (wilayah, negara) tertentu. Acara populer di Amerika Serikat (seperti American Idol) atau Brasil (Carnival) terkadang tak bisa menundukkan selera pemirsa global.

Sejumlah acara populer diakui hanya perkasa di satu belahan dunia, namun ditolak di belahan lainnya. Bentuk-bentuk produk kultural cenderung yahud sirkulasinya secara regional ketimbang global. Karena itu globalisasi kultural akhirnya dipahami memang tidak harus menghancurkan maupun mengganti kultur sosial lokal.


Glokalisasi

Demi menghindari tabrakan kultural yang kontraproduktif dengan kepentingan akumulasi kapital, muncullah fase yang disebut dengan glokalisasi (glocalization) tayangan. Glokalisasi merupakan pencampuran fitur-fitur kultur lokal dalam produk yang telah mengglobal.

Layaknya McDonald’s, produk global tayangan televisi telah dibakukan standar fundamental acara, kemasan setiap segmen, kualitas standar visual, dan komposisi frame layar, maupun kaidah-kaidah penjurian. Fitur lokal produk global tersebut, dalam kasus AFI maupun Indonesia Idol, lebih merujuk pada sosok penyanyinya.

Tentu saja, industri hiburan skala global sungguh khawatir dan waspada terhadap glokalisasi. Kompromi kultur lokal tetap dikalkulasi dalam bingkai keuntungan finansial. Glokalisasi sebagai ajang pertaruhan dominasi kultural telah memaksa pelaku industri pengekspor acara global menyiapkan tiga strategi utama memaksimalkan profit.

Pertama, strategi adopsi. Mereka mengemas sebuah ide dari satu pasar dan menggunakannya ke pasar lain tanpa melakukan mengubah kemasan. Jadi menjual acara secara apa adanya. Misalnya, film lepas box office, sirkus, telenovela.

Kedua, strategi adaptasi. Yakni mencomot acara dari satu tempat atau pasar, lantas “menjahit” ulang untuk dipersembahkan ke pasar (negara lain). Syaratnya, tetap mempertahankan nilai dasar dan elemen kunci dari ide orisinalnya. Fear Factor Indonesia, Indonesia Idol, Family 100 adalah contohnya.

Ketiga, strategi “invent”. Caranya membuat program baru ke sebuah pasar (konsumen televisi global) ketika riset memperlihatkan betapa strategi adopsi dan adaptasi lumpuh dari segi jumlah pemirsa. Ini belum ada di TV Indonesia.

Dalam praktek bisnis, pelaku industri hiburan televisi global senantiasa ditopang pemasaran yang canggih dan kiat promosi strategis. Mereka ini selalu berpatokan pada pertanyaan, kepada siapa acara didedikasikan, untuk tujuan apa, serta kepada siapa yang menikmati keuntungan kultural.

Kalau kembali ke tayangan TV, glokalisasi lebih untuk dua kepentingan sekaligus. Secara kultural, industi hiburan butuh kontestan dari seantero kota Indonesia. Tujuannya, pemirsa tak merasa “asing” menyaksikan tayangan di negeri sendiri. Hanya saja, seluruh mekanisme, prosedur, dan aturan tampilan layar telah dibakukan berdasar standar tayangan global.

Para kontestan itu diharapkan mampu menyedot rasa lokal kedaerahan. Sehingga pemirsa memandang kontestan sebagai wakil resmi daerahnya dalam ajang adu bakat. Promosi gencar mengusik dan membangkitkan sentimen kedaerahan dirancang pengelola acara. Bila fanatisme telah mengental, penyelenggara acara tinggal menyematkan layanan komersial demi keuntungan finansial.

Dalam kasus seperti itu menjadi sangat rasional bila ditempelkan fitur SMS sebagai kanal pendukung emosional lokalitas asal kontestan. Untuk memperkuat tiupan lokalitas, dibuatlah acara nonton bareng dengan pemimpin daerah (walikota dan/atau gubernur). Ketika spirit lokalitas mengkristal, episode acara bisa diolor dalam batas waktu yang memungkinkan demi menampung gelimang finansial yang berputar di balik SMS dukungan.

Prosedur glokalisasi acara, pada akhirnya, juga menghambat jalan seseorang meraih popularitas. Kanal layar penyemat popularitas kian mengeras ganjalannya. Karena untuk bisa akseleratif dengan kepentingan layar tayangan, kontestan juga membutuhkan modal besar (voucher pulsa SMS dukungan, misalnya). Bagi yang tak kuat finansial, mereka bisa nekad menempuh jalan pintas. Menjadi model cover majalah Playboy atau cara lain, misalnya. Inilah dilema pencari popularitas via televisi melalui rute globalisasi dan glokalisasi. (Teguh Imawan, KameliaTV) —

Tidak ada komentar: