Kompas, Minggu, 17 Februari 2008
Benny Yohanes
Kekuatan logika korporatis-industrial tampak dari bergesernya fungsi media-media publik yang sudah dikontrol oleh kekuasaan kapital. Semua media publik, yang kinerjanya tersihir oleh hipnose pragmatis budaya-transaksi, telah memosisikan diri sebagai lembaga-pembujuk. Sebagai lembaga pembujuk, peran media publik sebagai sarana konsientisasi cenderung digeser oleh kepentingan hedonistiknya. Semua media-publik berkompetisi untuk mempromosikan ideologi kebaruan, prestise, kecanggihan, kemudahan, penikmatan, akses, spektakel dan ekstase kerumunan.
Dalam kacamata lembaga pembujuk, publik dinilai sebagai massa yang mengambang orientasinya. Situasi pengambangan itu justru diciptakan oleh produk-produk yang dijual oleh lembaga pembujuk itu, yang mutu dagangannya hanya mendaur ulang sensasi retorik, komersialisasi dan dramatisasi informasi, rekayasa formula hiburan instan, serta pengkolonian ikon-ikon pasar budaya massa, yang disebut kaum selebritis. Semuanya ditampung dalam ’arus’ budaya televisi.
Televisi adalah medium hipnose untuk membangun sebuah versi tentang hibrida fakta dan fiksi. Televisi adalah dunia multi-narasi, multi-fashion, multi-spektakel, tetapi tetap mempertahankan watak temporernya, yaitu sebagai media transitori. Justru dengan mempertahankan fungsinya sebagai media transitori, di mana proses konsumsi atas program-program televisi selalu dibuat dalam format serial, televisi menunjukkan pertumbuhan tentakelnya sebagai arus yang tak bisa dipotong. Channel demi channel adalah jelmaan tangan raksasa yang membujuk dan mengurung. Tidak pernah ada layar kosong di televisi. Kita tak punya daya-tahan untuk turut mengalir bersama sensasi kebaruan, spektakel, dan reproduksi informasi yang dibawanya.
Televisi bersifat polisemik, terdiri dari banyak tanda, serangkaian kode yang bersifat visual, verbal, teknikal, dan presentasional. Polisemi ini menghasilkan kompleksitas visual dan aural, menciptakan pelbagai kemungkinan sensasi optikal pada khalayak. Walaupun demikian, televisi tetap menggunakan strategi naratif yang mengarahkan kita agar memahami pelbagai program itu dengan cara tertentu: hipnose yang berkesinambungan.
Sebagai lembaga pembujuk, televisi bersifat intertekstual, lantaran dorongan yang kuat untuk mendapatkan lebih banyak bahan. Televisi saling memanfaatkan formula-formula yang sukses dalam rangka mengejar rating yang didorong oleh kompetisi antar-channel. Ekperimentasi intertekstual terus dikembangkan karena kebutuhan untuk bertahan. Televisi mendiami ranah seni dan komersial pada saat yang sama. Televisi menghasilkan sampah dan sesuatu yang berkualitas dengan fasilitas yang sama. Hipnose televisi yang laten justru mengubah banalitas menjadi ’kualitas-rating’, untuk akhirnya menggiring khalayak menjadi masyarakat banal yang sesungguhnya. Banalitas dan karakter massa bertemu, menciptakan tipe masyarakat spectator; bertepuk tangan dalam locus kerumunan tontonan televisi. Di situlah sesungguhnya publik sedang memamerkan spiral kebisuan epistemiknya. Keriangan yang masokis.
Gejala masokisme yang eksesif terjadi juga pada kehidupan politik massa di Indonesia. Adopsi paham demokrasi dipungut dan dipraksiskan secara akseleratif, untuk menunjukkan kemampuan keikutsertaan kita dalam trend and demand politik internasional. Tetapi fenomena demokratisasi yang kita alami hanyalah bentuk paradoksalnya. Desentralisasi kekuasaan yang diterapkan justru menyuburkan desentralisasi korupsi, rangkaian aksi anarkis di tingkat akar-rumput, dan eksploatasi massa partisan oleh kaum elitenya.
Demokrasi di Indonesia hanya adopsi label yang dipoles secara retorik, dipakai untuk menangguk simpati massa partisan yang reaktif, namun tanpa modal kecerdasan politik. Hasilnya justru hal-hal yang kontra-produktif: Konflik etnik, sentimen rasisme, habituasi hukum-jalanan, fragmentasi ideologi, penggalakan korupsi, dan improvisasi pembangunan yang sekaligus berjalan seiring dengan konsumerisme tanpa produktivitas, fashionisasi agama, menurunnya empati sosial, dan degradasi lembaga pendidikan.
Gejala sado-masokisme politik ditunjukkan oleh sifat-sifat ekshibisionis dari massa partisan: Di satu sisi, massa partisan dihipnose oleh simbol-simbol religio-ideologis yang terpaksa harus dipakai sebagai label identitas kolektifnya sebagai massa, dan sebagai satu-satunya sarana defense-mechanism yang tersedia. Di sisi lain, massa partisan yang terhipnose itu sekaligus juga mendapatkan sensasi kenikmatan yang aneh, saat saling berbunuhan untuk saling mempertahankan label kelompok dalam suasana epidemi kebencian yang impulsif. Itulah saat-saat yang paradoksal, di mana massa yang teramputasi kecerdasan politiknya sedang memamerkan dengan antusias beban polusi label yang tidak disadarinya.
Ekses persuasi dan hipnose dari lembaga-lembaga pembujuk adalah implikasi dari proses fabrikasi kekuasaan, yang secara sistemik dijalankan oleh kekuasaan kapital yang mengontrolnya. Fabrikasi kekuasaan adalah sarana yang efektif untuk mengondisikan fabrikasi identitas terhadap massa. Dalam sistem ekspansif budaya-pop, massa adalah mangsa sekaligus aktor budaya-pop. Peran yang paradoks itu bisa dijalankan secara sinergis, karena massa berhasil dibuai oleh candu hedonisme yang penuh sensasi itu. Budaya-pop adalah sado-masokisme massal di ruang publik, di mana siksaan dan kenikmatan memadu sekaligus menjadi ekshibisi yang menggembirakan.
Wajah budaya kota di Indonesia hanyalah cangkokan yang prematur dari kultur-pop transnasional. Adopsi budaya-pop di Indonesia memperlihatkan kontradiksi epistemik, sekaligus melestarikan ketergantungan identitas. Contoh kontradiksi epistemik yang paling kasat mata adalah fenomena pembalikan makna terhadap resto junk-food. Jika di tempat asalnya, resto semacam itu terbentuk sebagai akibat kausal dari ritme kerja yang bergegas, maka di Indonesia resto junk-food justru dimaknai sebagai momen relaksasi yang berprestise.
Di Indonesia, aktivitas ber-junk-food ria justru jadi bagian tindakan membeli prestise itu, bukan mengefisienkan kebutuhan. Ber-Mac D-ria kemudian menjadi fashion untuk memasuki simulasi kemodernan. Ayam seduktif Mac D yang kita lahap adalah ayam kamuflase, ayam fiksional, ayam simulasi. Tapi justru demi menikmati efek simulasi itulah publik di Indonesia dapat merasakan sensasi kenikmatan sebagai warga budaya-pop internasional, sekaligus juga harus menanggung siksaan karena membengkaknya budget keluarga. Inilah contoh sado-masokisme yang tragis namun ekshibisionis sekaligus.
Gambaran budaya kota seperti di atas, termasuk hasil-hasil eksesif yang harus kita terima, lebih banyak disebabkan karena terjadinya degradasi perilaku publik, dari masyarakat (people) menjadi massa (mass). Degradasi perilaku publik itu setidaknya disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, karena praksis kebudayaan telah menjadi aktivitas yang polutif, tidak lagi inspiratif. Terlalu sedikit lembaga publik yang mampu menjalankan peran sebagai sarana konsientisasi publik, karena lembaga publik yang penetratif seperti dunia media hanya berperan sebagai lembaga pembujuk dan pemangsa. Kedua, runtuhnya ruang partikular individu, karena ruang publik telah berubah menjadi medan fabrikasi. Semua ini terjadi karena adopsi yang akseleratif terhadap praksis budaya-pop telah menghipnose massa untuk hanya siap menerima produk-produk yang seduktif. Makna berbudaya jadinya hanya semata-mata memakai (using) dan bukan menemukan (inventing). Dalam paradigma budaya-pop, massa memang hanya terposisi sebagai pengguna, sekaligus mangsa.
Dialektika berbudaya yang produktif justru harus berpijak pada aktivitas inventing—re-making—orientation. Dialektika inilah yang akan mampu menumbuhkan internal-progress dalam diri pelaku budaya. Yang justru menjadi dominan dalam wajah budaya kota di Indonesia adalah aktivitas using—over-using—mystification. Mistifikasi konsumsi, sebagai produk dari fabrikasi kekuasaan, yang melahirkan fabrikasi identitas, adalah bentuk masokisme budaya itu; sebuah siklus simulacra dalam semangat hedonisme media.
Dalam kacamata lembaga pembujuk, publik dinilai sebagai massa yang mengambang orientasinya. Situasi pengambangan itu justru diciptakan oleh produk-produk yang dijual oleh lembaga pembujuk itu, yang mutu dagangannya hanya mendaur ulang sensasi retorik, komersialisasi dan dramatisasi informasi, rekayasa formula hiburan instan, serta pengkolonian ikon-ikon pasar budaya massa, yang disebut kaum selebritis. Semuanya ditampung dalam ’arus’ budaya televisi.
Televisi adalah medium hipnose untuk membangun sebuah versi tentang hibrida fakta dan fiksi. Televisi adalah dunia multi-narasi, multi-fashion, multi-spektakel, tetapi tetap mempertahankan watak temporernya, yaitu sebagai media transitori. Justru dengan mempertahankan fungsinya sebagai media transitori, di mana proses konsumsi atas program-program televisi selalu dibuat dalam format serial, televisi menunjukkan pertumbuhan tentakelnya sebagai arus yang tak bisa dipotong. Channel demi channel adalah jelmaan tangan raksasa yang membujuk dan mengurung. Tidak pernah ada layar kosong di televisi. Kita tak punya daya-tahan untuk turut mengalir bersama sensasi kebaruan, spektakel, dan reproduksi informasi yang dibawanya.
Televisi bersifat polisemik, terdiri dari banyak tanda, serangkaian kode yang bersifat visual, verbal, teknikal, dan presentasional. Polisemi ini menghasilkan kompleksitas visual dan aural, menciptakan pelbagai kemungkinan sensasi optikal pada khalayak. Walaupun demikian, televisi tetap menggunakan strategi naratif yang mengarahkan kita agar memahami pelbagai program itu dengan cara tertentu: hipnose yang berkesinambungan.
Sebagai lembaga pembujuk, televisi bersifat intertekstual, lantaran dorongan yang kuat untuk mendapatkan lebih banyak bahan. Televisi saling memanfaatkan formula-formula yang sukses dalam rangka mengejar rating yang didorong oleh kompetisi antar-channel. Ekperimentasi intertekstual terus dikembangkan karena kebutuhan untuk bertahan. Televisi mendiami ranah seni dan komersial pada saat yang sama. Televisi menghasilkan sampah dan sesuatu yang berkualitas dengan fasilitas yang sama. Hipnose televisi yang laten justru mengubah banalitas menjadi ’kualitas-rating’, untuk akhirnya menggiring khalayak menjadi masyarakat banal yang sesungguhnya. Banalitas dan karakter massa bertemu, menciptakan tipe masyarakat spectator; bertepuk tangan dalam locus kerumunan tontonan televisi. Di situlah sesungguhnya publik sedang memamerkan spiral kebisuan epistemiknya. Keriangan yang masokis.
Gejala masokisme yang eksesif terjadi juga pada kehidupan politik massa di Indonesia. Adopsi paham demokrasi dipungut dan dipraksiskan secara akseleratif, untuk menunjukkan kemampuan keikutsertaan kita dalam trend and demand politik internasional. Tetapi fenomena demokratisasi yang kita alami hanyalah bentuk paradoksalnya. Desentralisasi kekuasaan yang diterapkan justru menyuburkan desentralisasi korupsi, rangkaian aksi anarkis di tingkat akar-rumput, dan eksploatasi massa partisan oleh kaum elitenya.
Demokrasi di Indonesia hanya adopsi label yang dipoles secara retorik, dipakai untuk menangguk simpati massa partisan yang reaktif, namun tanpa modal kecerdasan politik. Hasilnya justru hal-hal yang kontra-produktif: Konflik etnik, sentimen rasisme, habituasi hukum-jalanan, fragmentasi ideologi, penggalakan korupsi, dan improvisasi pembangunan yang sekaligus berjalan seiring dengan konsumerisme tanpa produktivitas, fashionisasi agama, menurunnya empati sosial, dan degradasi lembaga pendidikan.
Gejala sado-masokisme politik ditunjukkan oleh sifat-sifat ekshibisionis dari massa partisan: Di satu sisi, massa partisan dihipnose oleh simbol-simbol religio-ideologis yang terpaksa harus dipakai sebagai label identitas kolektifnya sebagai massa, dan sebagai satu-satunya sarana defense-mechanism yang tersedia. Di sisi lain, massa partisan yang terhipnose itu sekaligus juga mendapatkan sensasi kenikmatan yang aneh, saat saling berbunuhan untuk saling mempertahankan label kelompok dalam suasana epidemi kebencian yang impulsif. Itulah saat-saat yang paradoksal, di mana massa yang teramputasi kecerdasan politiknya sedang memamerkan dengan antusias beban polusi label yang tidak disadarinya.
Ekses persuasi dan hipnose dari lembaga-lembaga pembujuk adalah implikasi dari proses fabrikasi kekuasaan, yang secara sistemik dijalankan oleh kekuasaan kapital yang mengontrolnya. Fabrikasi kekuasaan adalah sarana yang efektif untuk mengondisikan fabrikasi identitas terhadap massa. Dalam sistem ekspansif budaya-pop, massa adalah mangsa sekaligus aktor budaya-pop. Peran yang paradoks itu bisa dijalankan secara sinergis, karena massa berhasil dibuai oleh candu hedonisme yang penuh sensasi itu. Budaya-pop adalah sado-masokisme massal di ruang publik, di mana siksaan dan kenikmatan memadu sekaligus menjadi ekshibisi yang menggembirakan.
Wajah budaya kota di Indonesia hanyalah cangkokan yang prematur dari kultur-pop transnasional. Adopsi budaya-pop di Indonesia memperlihatkan kontradiksi epistemik, sekaligus melestarikan ketergantungan identitas. Contoh kontradiksi epistemik yang paling kasat mata adalah fenomena pembalikan makna terhadap resto junk-food. Jika di tempat asalnya, resto semacam itu terbentuk sebagai akibat kausal dari ritme kerja yang bergegas, maka di Indonesia resto junk-food justru dimaknai sebagai momen relaksasi yang berprestise.
Di Indonesia, aktivitas ber-junk-food ria justru jadi bagian tindakan membeli prestise itu, bukan mengefisienkan kebutuhan. Ber-Mac D-ria kemudian menjadi fashion untuk memasuki simulasi kemodernan. Ayam seduktif Mac D yang kita lahap adalah ayam kamuflase, ayam fiksional, ayam simulasi. Tapi justru demi menikmati efek simulasi itulah publik di Indonesia dapat merasakan sensasi kenikmatan sebagai warga budaya-pop internasional, sekaligus juga harus menanggung siksaan karena membengkaknya budget keluarga. Inilah contoh sado-masokisme yang tragis namun ekshibisionis sekaligus.
Gambaran budaya kota seperti di atas, termasuk hasil-hasil eksesif yang harus kita terima, lebih banyak disebabkan karena terjadinya degradasi perilaku publik, dari masyarakat (people) menjadi massa (mass). Degradasi perilaku publik itu setidaknya disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, karena praksis kebudayaan telah menjadi aktivitas yang polutif, tidak lagi inspiratif. Terlalu sedikit lembaga publik yang mampu menjalankan peran sebagai sarana konsientisasi publik, karena lembaga publik yang penetratif seperti dunia media hanya berperan sebagai lembaga pembujuk dan pemangsa. Kedua, runtuhnya ruang partikular individu, karena ruang publik telah berubah menjadi medan fabrikasi. Semua ini terjadi karena adopsi yang akseleratif terhadap praksis budaya-pop telah menghipnose massa untuk hanya siap menerima produk-produk yang seduktif. Makna berbudaya jadinya hanya semata-mata memakai (using) dan bukan menemukan (inventing). Dalam paradigma budaya-pop, massa memang hanya terposisi sebagai pengguna, sekaligus mangsa.
Dialektika berbudaya yang produktif justru harus berpijak pada aktivitas inventing—re-making—orientation. Dialektika inilah yang akan mampu menumbuhkan internal-progress dalam diri pelaku budaya. Yang justru menjadi dominan dalam wajah budaya kota di Indonesia adalah aktivitas using—over-using—mystification. Mistifikasi konsumsi, sebagai produk dari fabrikasi kekuasaan, yang melahirkan fabrikasi identitas, adalah bentuk masokisme budaya itu; sebuah siklus simulacra dalam semangat hedonisme media.
Benny Yohanes Mengajar di STSI Bandung dan Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar