Oleh Teguh Imawan, direktur KameliaTV
Tayangan film kartun Naruto di televisi swasta nasional disinyalir menjadi penyebab Kematian Revino Siahaya, anak berusia 10 tahun, yang bunuh diri akibat meniru gaya dalam film kartun Naruto. Kasus mengenaskan di Semarang Jawa Tengah pada awal tahun 2008 ini dalam proses investigasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Terlepas dari ada atau tidak adanya pengaruh Naruto terhadap kematian Revino, kasus ini memperlihatkan kembali kepada publik luas betapa tayangan film kartun memiliki pengaruh buruk terhadap perilaku anak.
Catatan itu menjadi penting diangkat karena selama ini masyarakat cenderung memandang film kartun merupakan komsumsi aman untuk anak. Padahal, banyak film kartun yang isinya dominan nilai negatif dengan menekankan tokoh kartun menyelesaikan persoalan dengan cara-cara kekerasan. Sehingga pesan utama tayangan adalah: kekerasan wajib dibalas kekerasan!.
Efek Buruk
Kesimpulan berbagai riset intensif mengenai kekerasan tayangan televisi di Amerika Serikat (eksperimen laboratorium, eksperimen lapangan, longitudinal/efek jangka panjang, dan analisis meta/prosedur statistik) menandaskan, anak yang menonton kekerasan di televisi secara potensial akan mengalami tiga efek buruk.
Pertama, meningkatnya sikap antisosial atau perilaku agresif. Kedua, rasa tumpul terhadap kekerasan yang ditandai semakin bisa menerima kekerasan di dunia nyata dan terkikisnya rasa peduli kepada orang lain. Ketiga, meningkatnya rasa takut seseorang sebagai korban kekerasan.
Brad Bushman dan L. Rowell Huesmann dalam “Effects of Television Violence on Aggresion” (2001) menegaskan, anak usia kurang dari 7 (tujuh) tahun amat rentan menonton adegan kekerasan di televisi, karena mereka ini cenderung menganggap fantasi dan kekerasan kartun sebagai kenyataan. Kesimpulan ini mengukuhkan pernyataan bersama Komunitas Kesehatan Publik (Public Health Community) Amerika Serikat pada Juli 2000: “Sudah saatnya ditegaskan adanya hubungan sebab akibat antara kekerasan tayangan dengan perilaku agresif anak”.
Kalau kita kembali ke Indonesia dan merekapitulasi acara film kartun di televisi swasta nasional, berdasar jadwal tayangan acara 5 - 20 Januari 2008, terlihat enam stasiun TV (antv, TPI, RCTI, Indosiar, Trans7, dan Globaltv) menayangkan acara film kartun. Melalui enam stasiun televisi tersebut, dalam seminggu dapat disaksikan sebanyak 212 episode atau 30 episode per hari.
Stasiun Antv, misalnya, menayangkan film kartun berjudul Poochini, Popeye Original, Fantastic Four, Transformens, Zoids, dan Mask Rider Blade. TPI menghadirkan Petualangan Olly, Hamtaro, Casper, Tom & Jerry, Harveytoons. Indosiar menyiarkan The Justirizer, Machine Robo Rescue, Initial D, Sazer-X, CUE, B-Daman Fire Spirit, Pokemon 5, Bakugan Battle Brawler, Detective Conan, Power Ranger Space Patrol, Dragon Ball, Naruto 4, Power Ranger Mystic Force, serta Masked Rider Ryuki. Sedangkan Trans7 menyajikan Tom & Jerry, Scooby Doo, Teen Titans. RCTI yang hanya menyiarkan film kartun di hari Minggu, menayangkan Tom & Jerry, Doraemon, dan Crayon Sin-chan.
Globaltv, selain menyajikan Naruto, menayangkan juga Danny Phantom, Spongebob, Chalkzone, Avatar, Oh Yeah Cartoon, Jimmy Neutron, Teenage Robot, Ultraman Cosmos, Captain Tsubasa, Ultraman Gala, Skyland, serta Shaolin Wujang.
Kalau setiap episode film kartun memakan waktu 30 menit atau 0.5 jam, maka dalam seminggu layar kaca nasional mengalokasikan waktu 106 jam, atau 15 jam/hari. Dari total 15 jam tayangan film kartun itu, selama 7 (tujuh) jam tayangan berada di Globaltv dengan menyuguhkan 14 episode film kartun/hari.
Corak Kekerasan
Kalau mengamati isi tayangan film kartun secara umum yang diputar televisi swasta nasional, masih dijumpai pemakaian bahasa tak mendidik anak, misalnya “kiss my butt" ("cium pantat saya"). Kekerasan verbal berupa kata kasar seperti itu diperkental dengan aneka umpatan, hujatan, kecaman, maupun hinaan.
Belum lagi penayangan adegan kekerasan fisik berupa adegan tabrakan maupun merusak barang/bangunan dengan cara membanting, menginjak-injak barang. Kekerasan berikutnya adalah perkelahian tanpa senjata (pukul, tendang, banting, cekik, tampar), perkelahian dengan menggunakan benda tumpul (tongkat kayu, palu, batu, dan sejenisnya), serta perkelahian dengan menggunakan benda tajam (pisau, belati, pedang).
Eskalasi kekerasan fisik terus dipertinggi melalui adegan tembak-menembak dan adegan menggunakan bahan peledak. Bahkan, untuk kepentingan dramatisasi tak jarang ditampilkan tubuh terluka dan/atau tubuh berdarah (lelehan, tetesan, kucuran, muncratan). Dijumpai pula film kartun yang menyajikan detik-detik sang tokoh jahat menjelang ajal, dengan memperlambat gerak (slowmotion), setelah ditusuk pedang, korban perlahan-lahan tersungkur dan tak bergerak lagi.
Seluruh corak dan jenis tayangan meminggirkan nilai hidup dan kemanusiaan itu telah menjadi menu makanan sehari-hari kesadaran anak.
Sikap Penonton
Lantas, apa yang dilakukan penonton menghadapi tayangan kekerasan di televisi yang membawa efek buruk bagi anaknya?
Tiada pilihan lain, pertama, penonton (khususnya orangtua) harus peduli risiko efek buruk bila anak menonton tayangan kekerasan televisi. Kedua, orangtua perlu memberi pemahaman mengenai konteks tindak kekerasan tayangan dengan menekankan bahwa setiap kekerasan penjahat pasti dihukum setimpal, dan karena itu anaknya tak boleh mencontoh dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, wawasan anak diasah untuk membedakan dunia khayal film kartun dengan dunia kenyataan. Hal itu menuntut orangtua memperkaya diri dengan informasi tayangan yang ditonton anaknya. Serta tetap menghindarkan anak dari guyuran tayangan kekerasan berlebihan (eksplisit, vulgar, dan sadis).
Harus diakui, orangtua kian berat menghadapi tayangan televisi dalam konteks melindungi dan mencerdaskan anaknya. Penyebabnya, pengelola televisi nasional di Indonesia belum sepenuhnya mengikuti ketentuan standar program siaran. Misalnya, pengelola stasiun televisi tidak mencantumkan informasi penggolongan program. Padahal, regulasi menggariskan bahwa informasi penggolongan program harus terlihat di layar televisi di sepanjang acara berlangsung untuk memudahkan khalayak penonton mengidentifikasi acara.
Apalagi, rumusan definisi kekerasan dalam standar program siaran KPI begitu longgar, sehingga acara kekerasan gampang lolos tayang. Jadi, telah saatnya penonton televisi memberdayakan diri sendiri dengan hanya menyaksikan tayangan program acara yang bermanfaat. –
Tidak ada komentar:
Posting Komentar