27 Februari 2008

Memerangi Tayangan Tak Mendidik

Anggota DPR RI, Arief Mudatsir Mandan menyatakan harus ada komitmen bersama untuk menyatakan perang terhadap tayangan yang tidak mendidik. Karena pada kenyataannya, tayangan TV dari tahun - ke tahun tidak berubah, isinya masih didominasi seks, kekerasan dan mistik. “yang berubah hanya judulnya”, kata Arief.

Pernyataan ini disampaikan Arief yang menjadi narasumber dalam diskusi bertema “Mencari Formulasi Tayangan Televisi yang Bermartabat”. Diskusi ini merupakan acara pendahuluan sebelum ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Nahdatul Ulama di Kantor Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) kemarin siang (26/02).
Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, yang menandatangani Nota kesepahaman ini mewakili pihak Nahdatul Ulama menegaskan, Nota Kesepahaman ini harus offensif, karena sudah ditunggu-tunggu oleh bangsa Indonesia.
Menurut Hasyim, kita tidak boleh membiarkan generasi hancur karena seks, kekerasan, pergaulan bebas dan hedonisme. Hal itu tidak dapat dicegah hanya dengan instrumen legal formal. “Setelah MoU harus ada langkah-langkah yang visioner, elegan, demokratis dan rasional. Wacana ini harus jadi gerakan. PBNU harus all out menyelamatkan bangsa ini”. Tegas Hasyim.
Selain Hasyim dan Arief, narasumber dalam diskusi ini adalah Ketua KPI Pusat Sasa Djuarsa Sendjaja, Ketua PBNU Ahmad Bagdja, dan Teguh Imawan dari Kamelia TV.
Dalam kesempatan ini, Sasa menjelaskan bahwa isi siaran yang banyak dikeluhkan masyarakat adalah seks dan porno, kekerasan serta mistik. Untuk itu, Dia menawarkan tiga langkah untuk mencegah dampak buruk tayangan TV.
Langkah pertama adalah memberi kesadaran kepada masyarakat untuk melaporkan tayangan yang dinilai tidak baik atau tidak pantas kepada KPI.
Kedua adalah melakukan upaya preventif yaitu dengan tidak menonton program TV yang tidak mendidik.
Ketiga adalah memberikan pendidikan kepada masyarakat agar melek media (literasi media).
Sasa juga menyayangkan terjadinya monopoli fakta oleh AC Nielsen sebagai akibat dari tidak adanya lembaga lain yang menghasilkan Rating terhadap tayangan TV. Sehingga Rating AC Nielsen menjadi satu-satunya tolak ukur keberhasilan suatu program TV di pasar pemirsa.
Praktisi pertelevisian Teguh Imawan juga menambahkan bahwa isi siaran hingga saat ini masih buruk karena penonton masih diperlakukan sebagai konsumen. “Hingga saat ini stasiun TV masih Selling bukan Telling”, Kata Teguh.
Dia juga menyatakan bahwa sebagian besar isi siaran TV hanya bersifat menghibur dan tidak mengandung informasi yang dibutuhkan masyarakat. Untuk itu, dia juga menawarkan agar masyarakat diberi ketrampilan untuk terlibat mengawasi isi siaran TV.
Perluas Keterlibatan Masyarakat
Masih tetap buruknya isi siaran TV mendorong KPI untuk memperluas keterlibatan masyarakat untuk mengawasi isi siaran. Sebelumnya, KPI telah membuat Nota Kesepahaman dengan Polri, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lembaga Sensor Film (LSF) dan Dewan Pers. Untuk semakin memperluas daya dorongnya, KPI juga membuat Nota Kesepahaman dengan NU.
Materi yang dikerjasamakan antara KPI dan NU diantaranya adalah tukar menukar hasil pemantauan, pemberian bantuan teknis dalam pelaksanaan tugas masing-masing bidang dan melakukan sosialisasi bersama.
Selanjutnya, dalam perjanjian ini, KPI diharuskan mengolah dan menindaklanjuti hasil pemantauan isi siaran TV dan Radio hingga jalur hukum. Red

Tidak ada komentar: