03 Februari 2008

"Opera Sabun" Liputan Pak Harto

Minggu, 3 Februari 2008 01:36 WIB


DAHONO FITRIANTO & SUSI IVVATY
Sebulan sudah berita dan tayangan seputar mantan Presiden Soeharto mendominasi layar televisi kita. Puncaknya terjadi saat Soeharto wafat, hari Minggu (27/1). Perkembangan peristiwa diberitakan detik demi detik sejak jenazah diberangkatkan dari RSPP hingga dimakamkan di Astana Giribangun keesokan harinya.
Tayangan mengenai wafatnya Soeharto memang tidak menggunakan sistem TV pool (seluruh stasiun TV bekerja sama dan menyiarkan satu tayangan yang sama), seperti saat meninggalnya Ibu Tien Soeharto tahun 1996. Akan tetapi, pada hari Senin (28/1), seluruh stasiun TV nasional tetap menyiarkan liputan menurut versi dan sudut pandangnya masing-masing terhadap peristiwa tersebut sepanjang hari.
Di tengah hujan kritik bahwa liputan TV seputar hari-hari akhir Soeharto sudah terlalu berlebihan dan tak proporsional, bahkan dianggap nggege mangsa—mengharap sesuatu terjadi sebelum tiba waktunya—beberapa penanggung jawab pemberitaan stasiun-stasiun TV menganggap peliputan tersebut tak mungkin tidak dilakukan. "Terlepas dari orang suka atau tidak suka (terhadap sosok Soeharto), orang ingin tahu peristiwa ini," kata Rosiana Silalahi, Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV.
Rosi mengatakan, melalui sistem daily tracking untuk memantau perilaku dan kecenderungan penonton TV tiap hari, terbukti bahwa sebagian besar pemirsa ingin mengikuti perkembangan berita meninggalnya Pak Harto. "Saat kami menayangkan breaking news kabar tersebut pada Minggu sore, mayoritas pemirsa menonton SCTV. Tetapi begitu kami keluar dari breaking news, mereka langsung mencari breaking news di stasiun TV lain," ungkap Rosi.


Jauh hari
Persiapan liputan pun ternyata telah dilakukan jauh hari sebelum mantan presiden terlama di Indonesia tersebut masuk Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Wakil Pemimpin Redaksi MetroTV Makroen Sanjaya mengatakan, persiapan liputan meninggalnya Soeharto telah dilakukan sejak Maret 2007. "Kami telah membuat skenario siaran langsung. Tentang siapa atau lembaga apa yang paling otoritatif mengumumkan kematian Pak Harto juga sudah diperhitungkan sekitar 10 hari sebelumnya. Ini bukanlah cara nggege mangsa atau menabrak budaya ketimuran, melainkan untuk menjaga kecepatan, kelengkapan, dan keakuratan," papar Makroen.
Hal senada diungkapkan Pemimpin Redaksi RCTI Arief Suditomo yang juga telah mempersiapkan liputan tersebut sejak beberapa bulan sebelumnya. "Persiapan peliputan dengan membuat riset dan membuka dokumen tentang Soeharto itu bukan mendahului kehendak Tuhan, tetapi sudah sewajarnya dalam kerja jurnalistik," tuturnya.
Sekarang mari kita lihat penggelaran "pasukan" liputan stasiun-stasiun TV ini. Hingga tanggal 26 Januari, MetroTV telah menggelar tim lapangan yang berjumlah 76 orang, mulai dari petugas keamanan sampai reporter yang melaporkan siaran langsung. "Itu belum termasuk tim di belakang meja. Totalnya bisa mencapai 200 orang, lebih dari 50 persen kekuatan redaksi," ungkap Makroen.
Mobil-mobil SNG (satellite news gathering) untuk siaran langsung disebar di titik-titik "hot spot", seperti RSPP, Jalan Cendana, Lanud Halim Perdanakusuma, Ndalem Kalitan, hingga Astana Giribangun. "Setelah selesai meliput banjir di Jawa Timur tanggal 2 Januari, saya sudah ditugaskan stand by di Giribangun sejak 5 Januari," kata Amanda Manuputty, reporter MetroTV Biro Surabaya.



Istimewa
Makroen mengatakan, sejak awal MetroTV sadar bahwa segala hal mengenai Soeharto selayaknya mendapat tempat istimewa dalam pemberitaan. Sosok, usia, penyakit, kontroversi, sampai problematika hukum dan politik Soeharto membuat berita seputar dia dipandang memiliki magnitudo yang sangat kuat. "Meminjam istilah Garin Nugroho bahwa suatu peristiwa berita bisa menjadi opera sabun yang tak pernah usai, maka berita seputar kesehatan Pak Harto pasti menjadi ’opera sabun’ paling panjang, apalagi berita kematiannya," ungkapnya.
RCTI menerjunkan 30 reporter beserta kru pendukung dan sejumlah orang dari divisi lain, termasuk bagian rumah tangga, untuk mengurus segala hal, dari tiket pesawat sampai peralatan liputan. SCTV mengirim Produser Liputan 6 Pagi, Bayu Sutiyono, ikut dalam rombongan pelayat sehingga bisa melaporkan melalui handphone detail prosesi dan perjalanan iring-iringan jenazah dari Cendana hingga Astana Giribangun yang tak terliput kru lainnya.
Dengan segala gegap gempita persiapan liputan itu, berbagai kekurangan tetap terjadi. Mulai dari yang remeh, seperti penyebutan jumlah pengusung peti jenazah oleh reporter yang tidak sesuai dengan gambar yang ditayangkan atau laporan pandangan mata yang mengganggu kekhidmatan tayangan karena hanya mendeskripsikan apa yang sudah bisa ditonton pemirsa di layar TV masing-masing.
Ada juga masalah akurasi. Saat berita teks di satu stasiun TV mengabarkan Bandara Adi Sumarmo di Solo tidak akan ditutup untuk umum, running text di TV lain menyebutkan bandara tersebut ditutup dan penerbangan dialihkan. Di SCTV, saat jenazah sudah tiba di Astana Giribangun, berita teksnya masih berisi kabar basi bahwa Panglima Kodam IV Diponegoro akan bertindak sebagai inspektur upacara penyambutan jenazah di Bandara Adi Sumarmo.
Belum lagi kritik dari berbagai pihak terhadap sudut pandang liputan TV yang dianggap terlalu menonjolkan sisi baik Soeharto. Rosi mengatakan, apa yang dilakukan SCTV pada hari meninggal dan pemakaman Pak Harto adalah menjalankan esensi dari sebuah laporan TV. "Esensi laporan TV adalah siaran langsung. Pada hari-H, orang tidak butuh analisa," ungkap Rosi.
Arief juga menghindari terlalu banyak opini masuk dalam liputan RCTI untuk membebaskan diri dari bias. Apa yang dilakukan RCTI, lanjut Arief, adalah sekadar melayani pasar, termasuk melayani mereka yang pro maupun kontra terhadap sosok Soeharto. "Dengan begitu, profit yang fair akan datang kepada kami. Kami kan dapat rezeki juga dari sana, ya, masak direm?" tukasnya.


http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.03.01365691&channel=2&mn=28&idx=28

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Semoga dunia pertelevisian kita semangkin dewasa dan aktif terlibat daripada membangun budaya bangsa.