08 Februari 2010

Pasar Menggiurkan bagi Para Predator (Dunia Maya)

Amir Sodikin - Orang Indonesia, yang mengalami lompatan teknologi konvensional ke teknologi siber yang mobile, beberapa di antaranya bahkan belum pernah mengenal komputer, ternyata punya karakter yang mudah dibujuk. Merujuk kecenderungan ini, Indonesia adalah pasar yang menggiurkan bagi predator online.

Predator online adalah sebutan untuk orang-orang yang mencari anak-anak muda, termasuk anak-anak belasan tahun, untuk dijadikan korban demi kepentingan bisnis seks atau pencabulan. Kepentingan bisnis seks bisa berupa pengambilan dan pemuatan foto atau video tak pantas, atau, dalam tingkat kronis, dimanfaatkan sebagai jaringan pekerja seks komersial.

Uniknya, Indonesia tak hanya potensial untuk mencari korban, tetapi sekaligus potensial menjadi surga bagi para pelaku. Selain menghasilkan uang, situs web berbau porno juga menghasilkan lalu lintas pengunjung yang tinggi. Itu berarti pasar yang tinggi.

Sekarang, dengan maraknya situs jejaring sosial, untuk membuat konten dan layanan berbau porno tak harus profesional menjadi webmaster dulu. Cukup dengan memainkan akun di salah satu situs jejaring sosial sudah bisa untuk berkampanye dan mencari mangsa leluasa.

Dari data alexa.com, banyak situs porno masuk urutan 100 besar yang sering diakses pengunjung dari Indonesia. Ini memanfaatkan kelemahan Indonesia yang tak punya kepedulian dan tak punya kekuatan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya uang, untuk memerangi persoalan seperti ini sejak dini.

Setiap hari, di media iklan online gratis terus bertebaran iklan yang memfasilitasi hasrat para predator. Setiap hari pula para pembuat konten industri seks terus berkreasi meningkatkan lalu lintas bisnisnya. Kita masih sebatas menonton, tanpa bisa mencegah, apalagi menindak.

Para predator online makin aktif mengintai mangsanya. Mereka tak selamanya menggunakan broker germo atau lewat jasa salah satu situs dewasa, beberapa di antaranya langsung bergentayangan di situs jejaring sosial dan forum-forum diskusi.

Salah satu mangsa yang mudah diperdaya adalah anak-anak belasan tahun, terutama usia SMP dan SMA. Fenomena itu terus menjamur seiring makin leluasanya mengakses internet dari komputer atau telepon genggam. Jadi, ancaman untuk anak-anak kita sedekat genggaman tangan kita.

Mereka korban

Menurut pakar pendidikan Arief Rachman, dari sisi moralitas, para siswi sekolah yang ketahuan melacurkan dirinya lewat internet, seperti di Surabaya, tak boleh disebut sebagai tersangka. Sebab, mereka justru menjadi korban dari sebuah ketidakteraturan nilai dan penegakan hukum yang berlaku di dunia, termasuk Indonesia, saat ini.

Arief melihat di seluruh dunia telah terjadi kekeliruan luar biasa karena mengubah pola pikir masyarakat, orangtua, dan anak mengenai nilai-nilai kesuksesan pada hal terukur yang tampak pada uang, titel, dan fasilitas yang mereka miliki.

"Bukan salah anak-anak itu. Yang salah adalah negara, masyarakat, dan keluarga yang menentukan ukuran kesuksesan yang bersifat 'kulit'-nya, bukan pada hal spiritual, emosional, dan sosial, misalnya tanggung jawab dan pengembangan diri," ujarnya.

Godaan konsumerisme di seluruh dunia kini begitu dahsyat sehingga melenakan masyarakat, termasuk siswa sekolah.

"Nilai kesuksesan hanya diukur dari populer, cantik, tampil seksi, sehingga orang kemudian berlomba-lomba ikut lomba yang jika menang akan membuat posisi orang bersangkutan amat populer," kata Arief Rachman yang lebih suka disebut sebagai pendidik.

Populer bagi mereka, lanjutnya, identik dengan harus tampil mewah dan hidup serba nyaman yang tentu butuh biaya. Celakanya, sebagian dari anak-anak sekarang tidak tahan untuk menderita, maunya nyaman selamat dan benar. Jika kebetulan tak ada ongkos untuk memenuhi kebutuhan tersebut, akhirnya ada remaja lebih memilih jalan pintas dengan menampilkan aspek seksualitas.

"Saya ngeri melihat keadaan misalnya anak-anak kecil sudah menyanyikan lagu-lagu cinta, itu karbitan. Ya seperti ujian nasional kitalah," katanya mengaitkan penilaian hasil belajar siswa ala pemerintah yang hanya lewat hasil ujian nasional.

Arief juga melihat anak-anak sekarang bila temannya berbuat benar malah dinilai aneh. Sebaliknya bila berbuat amoral semakin dianggap biasa.

"Pendidikan dalam keluarga dan sekolah sangat berperan untuk terus melatih takut akan Tuhan, bertanggung jawab, bersikap, berpikir, berbicara benar, tahan banting, dan mensyukuri apa yang mereka terima. Tetapi, tentu saja harus pula diikuti pembiasaan hal yang sama di rumah dan di masyarakat," katanya.

Ia mengakui tidak mudah mengembalikan kondisi yang karut-marut itu, tetapi ia sebagai pendidikan mengajak semua pihak untuk tidak lelah dan patah semangat. "Mereka itu anak-anak kita. Kita wajib terus mengingatkan," kata Arief Rachman.

Pendidikan moral

Senada dengan Arief Rachman, psikolog dari Universitas Indonesia, Lucia RM Royanto, mengatakan, remaja-remaja yang terjerat dalam pornografi online adalah korban dari dunia sekitarnya. "Baik itu masyarakat, guru di sekolah, maupun keluarganya sendiri," kata Lucia.

Informasi yang berkaitan dengan dunia maya, baik konten maupun perantinya, sama sekali tidak bisa dicegah perkembangannya. "Namun, masyarakat kita tidak siap. Masyarakat berubah, dunia berubah, tetapi pendidikan terhadap anak untuk menghadapi perubahan ini nyaris tidak ada," ujar Lucia.

Persiapan yang harus disiapkan adalah moralitas. Anak disiapkan agar mereka mempunyai kesadaran diri sendiri. Jadi, ketika hendak melakukan sesuatu yang tidak benar, mereka mempunyai rambu-rambu sendiri. "Mereka sadar sendiri karena mempunyai kesadaran hati," kata Lucia.

Lucia mengakui, sudah sejak lama sekolah memberikan pendidikan tentang seks kepada murid-muridnya. Namun, pendidikan seks itu hanya berkutat pada ilmu pengetahuan, sedangkan moralitas mengenai seks itu sendiri tidak dibangun. "Guru-guru sudah dikejar dengan beban kurikulum yang sangat berat. Mereka tidak punya ekstra waktu dan pikiran untuk mengajarkan soal moralitas seks," ujarnya.

Di rumah, anak-anak juga sering kali tidak mendapatkan contoh yang baik dari orangtua. Misalnya, orangtua melarang anak melihat gambar porno, tetapi mereka sendiri menyimpan gambar-gambar porno.

Di masyarakat, saat ini masalah spiritualitas dan agama juga cenderung hanya menjadi ritual belaka yang membuat anak kehilangan makna dari spiritualitas itu sendiri. Lucia berpendapat, untuk memperbaiki kondisi ini, harus dikembalikan kepada keluarga. "Orangtua harus mempunyai waktu untuk berbicara tentang apa saja dengan anak," katanya. (Sulastri Soekirno/M Clara Wresti) -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/08/02403783/pasar.menggiurkan.bagi.para.predator

Tidak ada komentar: