09 Februari 2010

Gaya Pidato, dari Santai sampai Telepromter

Proklamator dan presiden pertama RI Soekarno terkenal sebagai orator ulung. Salah satu momen pidato terpenting Soekarno setiap tahun adalah pidato 17 Agustus. Pidato ini selalu berlangsung selama dua hingga tiga jam. Kehebatannya terbukti karena pidato sepanjang itu tak menerbitkan kantuk atau bosan.

Intonasinya naik, turun, lembut, dan menggeledek pada saat yang tepat. Setelah mengumpulkan data dan masukan, Soekarno menulis sendiri pidatonya. Ia memaknai setiap kata dan titik koma dalam naskah itu, lalu menyampaikannya dalam pidato dengan penjiwaan penuh.

Pada masa Orde Baru, bertahun-tahun rakyat terbiasa dengan gaya pidato Presiden Soeharto: formal, kaku, kerap keliru melafalkan bahasa Indonesia, dan nyaris tanpa intonasi. Penyampaian monoton tampak jelas ketika Presiden Soeharto menerangkan kebijakan pemerintah dalam pidato kenegaraan.

Namun, Soeharto bisa tampil lebih santai dan cemerlang ketika berdialog dengan kelompok-kelompok masyarakat, misalnya yang ia undang ke Peternakan Tapos, Bogor, dan disiarkan TVRI. Tanpa contekan, Soeharto bisa memberikan penjelasan rinci dengan data lengkap.

Setelah Orde Baru runtuh, generasi muda yang sebelumnya tak pernah tertarik dengan gaya pidato Soeharto berdesakan di depan televisi setiap kali Presiden Abdurrahman Wahid berpidato. Mereka bisa tertawa tergelak sekaligus terperangah dengan gagasan-gagasan baru yang dilontarkan Gus Dur.

Telepromter

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden yang paling memanfaatkan teknologi untuk memastikan penampilannya saat berpidato tak bercacat.

Semacam layar kaca ditegakkan di sebelah kanan dan kiri depan podium tempat Presiden berdiri. Kaca berukuran sekitar 15 inci itu tak menghalangi pandangan hadirin ke arah Presiden karena bening tembus pandang. Sebaliknya, dari posisi Presiden berdiri, kedua layar itu menyajikan teks berjalan dalam ukuran besar sehingga mudah dibaca.

Dengan memanfaatkan alat ini, pidato Presiden yang dimuati banyak data dan angka pun dapat tersampaikan lancar seolah tanpa membaca teks karena kontak mata selalu mengarah kepada hadirin. Intonasi dan penggalan kata pun terjaga sebab teks berjalan itu juga dilengkapi tanpa-tanda jeda kalimat.

Dino Patti Djalal, Staf Khusus Presiden Bidang Politik Luar Negeri yang juga penulis naskah pidato SBY, mengungkapkan, ketelitian dan "kecintaan" SBY pada detail perkara tecermin dalam proses penyusunan naskah pidatonya (Harus Bisa!, 2009).

Pidato pada kegiatan rutin atau untuk forum kecil biasanya ditulis lebih dulu rancangan naskahnya oleh Dino. Lalu, Presiden memeriksa dengan teliti, menghapus kata atau kalimat yang tidak sesuai, mempertanyakan asumsi dan argumentasi, mengurangi atau menambah hal perlu.

Menurut Dino, Presiden Yudhoyono selalu mendeteksi salah ketik, salah koma, salah eja, statistik yang ngawur, dan lain-lain.

Untuk pidato dalam forum besar, misalnya pada konferensi internasional, persiapan penulisan naskah bisa butuh waktu beberapa bulan. Jauh-jauh hari, Presiden Yudhoyono sudah mendiskusikan poin-poin penting untuk dimasukkan dalam pidatonya. Kadang dibentuk gugus tugas khusus untuk menentukan poin-poin pidato itu.

Menyangkut pilihan kata, pada awal periode pertama pemerintahannya, pidato Yudhoyono nyaris bersih dari istilah dan kalimat berbahasa asing. Sepatutnya begitu karena SBY memang terpilih sebagai tokoh berbahasa Indonesia lisan terbaik pada Oktober 2003 ketika masih menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. (Nur Hidayati) - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/09/0355074/gaya.pidato.dari.santai.sampai.telepromter

Tidak ada komentar: